Pendahuluan
Era disrupsi ditandai oleh perubahan cepat akibat inovasi teknologi digital yang memengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari ekonomi, sosial, hingga budaya (Castells, 2000). Kondisi ini membawa tantangan besar bagi bangsa Indonesia, terutama dalam menjaga semangat kebangsaan dan nasionalisme generasi muda. Dalam konteks ini, bela negara tidak lagi dapat dimaknai secara sempit sebagai upaya pertahanan bersenjata, tetapi harus dilihat sebagai bentuk kesadaran kolektif warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga eksistensi dan kemajuan bangsa (Kemhan RI, 2021).
Namun, fenomena globalisasi nilai dan penetrasi budaya asing telah menyebabkan munculnya krisis identitas nasional di kalangan generasi muda. Mereka lebih mengenal ikon budaya luar negeri dibanding tokoh nasional, lebih bangga terhadap produk global dibanding karya bangsa sendiri. Fenomena ini menandakan adanya pergeseran nilai kebangsaan yang jika dibiarkan dapat melemahkan kohesi sosial dan rasa cinta tanah air (Huntington, 1996).
Dalam menghadapi realitas tersebut, dibutuhkan revitalisasi nilai-nilai bela negara agar lebih kontekstual, dinamis, dan relevan dengan kehidupan generasi digital. Artikel ini mengkaji bagaimana nilai-nilai dasar bela negara dapat diperbarui dan diinternalisasi kembali melalui pendekatan pendidikan, teknologi, dan keteladanan sosial.
Tantangan Bela Negara di Era Disrupsi
Kemajuan teknologi digital membawa dampak ambivalen: di satu sisi memberikan peluang bagi pengembangan kreativitas dan inovasi; di sisi lain menimbulkan tantangan terhadap jati diri dan nasionalisme generasi muda. Menurut Acharya (2001), interaksi lintas batas yang semakin terbuka telah membentuk masyarakat regional dan global yang saling bergantung. Akibatnya, loyalitas terhadap identitas nasional sering kali berkurang karena meningkatnya identitas global.
Dalam konteks Indonesia, terdapat beberapa tantangan utama yang dihadapi dalam menanamkan nilai bela negara di era disrupsi (Dwiyanto, 2021):
1. Disrupsi nilai dan identitas.
Generasi muda cenderung mengadopsi gaya hidup global yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai budaya nasional. Hal ini menyebabkan munculnya krisis identitas dan melemahnya kesadaran kebangsaan.
2. Krisis kepedulian sosial.
Budaya digital yang individualistik dan kompetitif menjauhkan generasi muda dari semangat gotong royong dan solidaritas sosial, yang merupakan inti dari nilai bela negara.
3. Ancaman ideologis dan disinformasi digital.
Maraknya berita bohong (hoaks), ujaran kebencian, dan propaganda ekstremisme di media sosial menjadi ancaman serius terhadap integritas nasional. Generasi muda yang tidak memiliki literasi digital dan ideologis yang kuat mudah terpengaruh oleh narasi yang memecah belah bangsa (Kemhan RI, 2022).
Tantangan tersebut menunjukkan bahwa bela negara di era disrupsi tidak bisa lagi didekati dengan cara lama. Diperlukan inovasi dalam penyampaian nilai-nilai kebangsaan agar lebih sesuai dengan karakteristik generasi muda yang kreatif, kritis, dan digital-savvy.
Nilai-Nilai Dasar Bela Negara
Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Amanat konstitusi tersebut kemudian diterjemahkan oleh Kementerian Pertahanan ke dalam lima nilai dasar bela negara, yaitu:
- Cinta tanah air;
- Sadar berbangsa dan bernegara;
- Yakin pada Pancasila sebagai ideologi negara;
- Rela berkorban untuk bangsa dan negara; dan
- Memiliki kemampuan awal bela negara (Kemhan RI, 2021).
Nilai-nilai tersebut bersifat universal dan dapat diterapkan dalam berbagai konteks kehidupan. Di era digital, cinta tanah air dapat diwujudkan melalui dukungan terhadap produk lokal, partisipasi dalam gerakan sosial berbasis teknologi, atau menjaga etika berinternet untuk melawan disinformasi (UNESCO, 2015). Dengan demikian, bela negara dapat menjadi gaya hidup kebangsaan, bukan sekadar kewajiban formal.
Revitalisasi Nilai Bela Negara di Era Disrupsi
Revitalisasi berarti menghidupkan kembali semangat dan nilai-nilai yang mulai memudar dengan cara yang sesuai dengan perkembangan zaman (Tilaar, 2002). Dalam konteks bela negara, revitalisasi diperlukan agar nilai-nilai kebangsaan dapat diterima dan dihayati secara alami oleh generasi muda. Ada empat strategi utama dalam upaya revitalisasi ini.
1. Reorientasi Pendidikan Karakter
Pendidikan bela negara harus menekankan pembentukan kesadaran kritis, bukan indoktrinasi. Proses pembelajaran perlu diarahkan pada pengembangan kemampuan berpikir reflektif, tanggung jawab sosial, dan empati kebangsaan. Sekolah dan perguruan tinggi dapat mengintegrasikan nilai bela negara dalam kegiatan kokurikuler seperti pengabdian masyarakat, penelitian sosial, atau proyek inovasi digital bertema kebangsaan (UNESCO, 2015).
Selain itu, pendekatan pedagogi partisipatif perlu digunakan untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap bangsa. Pendidikan tidak boleh hanya bersifat top-down, tetapi harus memberi ruang bagi dialog antar generasi agar nilai bela negara dapat ditafsirkan secara kontekstual oleh peserta didik.
2. Transformasi Digital Bela Negara
Ruang digital merupakan arena baru dalam membangun nasionalisme. Pemerintah dan masyarakat perlu memanfaatkan media sosial, konten kreatif, dan platform pembelajaran daring untuk menanamkan nilai kebangsaan (Kemhan RI, 2022). Gerakan digital seperti #CintaIndonesia, #BanggaBuatanIndonesia, dan #BijakBersosmedUntukNegeri merupakan contoh kampanye positif yang membangun cyber patriotism.
Generasi muda juga dapat berperan sebagai digital volunteer yang menyebarkan pesan toleransi, anti-hoaks, dan solidaritas sosial. Dengan demikian, bela negara menjadi bagian dari ekosistem digital yang membentuk perilaku warga negara modern.
3. Keteladanan Tokoh Publik dan Pemimpin
Nilai bela negara tidak akan efektif jika tidak disertai keteladanan. Generasi muda belajar lebih banyak dari contoh nyata dibanding ceramah moral. Oleh karena itu, pemimpin, pendidik, dan tokoh publik harus menunjukkan integritas, disiplin, dan semangat pengabdian (Yudhoyono, 2014). Ketika nilai-nilai tersebut terlihat nyata dalam kehidupan sehari-hari, generasi muda akan termotivasi untuk meneladani dan menginternalisasikannya.
4. Kolaborasi Lintas Generasi dan Sektor
Bela negara adalah tanggung jawab kolektif seluruh warga bangsa. Kolaborasi lintas generasi dan sektor menjadi kunci keberhasilan revitalisasi ini. Dunia pendidikan, lembaga pemerintah, organisasi masyarakat, dan sektor swasta perlu bersinergi dalam program penguatan nasionalisme. Misalnya, startup lokal dapat mengembangkan aplikasi edukasi bela negara, sedangkan media dapat menyoroti kisah inspiratif pemuda pelopor bangsa (Dwiyanto, 2021).
Dengan demikian, bela negara bukan sekadar doktrin negara, tetapi gerakan sosial yang hidup dan inklusif.
Generasi Muda sebagai Agen Bela Negara
Generasi muda adalah aset strategis bangsa dalam membangun ketahanan nasional. Mereka memiliki potensi besar dalam hal inovasi, teknologi, dan kreativitas sosial. Menurut Acharya (2001), partisipasi aktif generasi muda dalam kegiatan kebangsaan merupakan indikator kuat dari ketahanan sosial suatu negara.
Bentuk partisipasi bela negara modern dapat diwujudkan melalui berbagai bidang:
- Bidang teknologi: menciptakan inovasi digital yang memperkuat ekonomi nasional;
- Bidang sosial: menjadi relawan dalam kegiatan kemanusiaan dan lingkungan;
- Bidang budaya: mempromosikan produk dan nilai-nilai lokal di panggung global.
Keterlibatan aktif ini menunjukkan bahwa bela negara bukan hanya kewajiban formal, tetapi ekspresi cinta tanah air yang kreatif dan produktif.
Bela Negara sebagai Gaya Hidup Kebangsaan
Agar revitalisasi berhasil, nilai-nilai bela negara harus menjadi bagian dari gaya hidup generasi muda. Hal ini dapat diwujudkan melalui praktik sederhana: mencintai produk lokal, berperilaku etis di dunia maya, menghormati perbedaan, dan menjaga lingkungan (Tilaar, 2002). Ketika bela negara menjadi bagian dari kesadaran kolektif dan gaya hidup sehari-hari, maka nasionalisme akan hidup kembali secara alami dalam kehidupan masyarakat.
Kesimpulan
Revitalisasi nilai bela negara di era disrupsi merupakan kebutuhan strategis dalam menjaga keutuhan dan kemandirian bangsa. Upaya ini tidak hanya menuntut perubahan pada tataran kebijakan, tetapi juga pada pola pikir masyarakat, terutama generasi muda. Melalui pendidikan karakter, transformasi digital, keteladanan sosial, dan kolaborasi lintas generasi, nilai bela negara dapat kembali relevan dan bermakna.
Generasi muda tidak lagi sekadar objek pembinaan, melainkan subjek utama dalam proses bela negara yang modern dan inklusif. Dengan menanamkan semangat nasionalisme yang adaptif, partisipatif, dan berbasis teknologi, Indonesia dapat membangun ketahanan nasional yang kuat menuju cita-cita Indonesia Emas 2045.
Daftar Pustaka
Acharya, A. (2001). Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order. Routledge.
Castells, M. (2000). The Rise of the Network Society (2nd ed.). Oxford: Blackwell Publishers.
Dwiyanto, A. (2021). Membangun Etika dan Integritas Pelayanan Publik di Era Digital. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Huntington, S. P. (1996). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster.
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2021). Buku Pedoman Bela Negara. Jakarta: Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan.
Kemhan RI. (2022). Modul Nilai-Nilai Dasar Bela Negara. Jakarta: Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.
Tilaar, H. A. R. (2002). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
UNESCO. (2015). Global Citizenship Education: Topics and Learning Objectives. Paris: UNESCO Publishing.
Yudhoyono, S. B. (2014). Pancasila dan Bela Negara di Era Globalisasi. Jakarta: The Yudhoyono Institute.
