Penulis : Erman Umar, SH (Presiden Kongres Advokat Indonesia)
Penegakan hukum di Indonesia pada tahun 2021 sangat memprihatinkan, jauh dari harapan negara hukum. Sejatinya setiap warga negara harus diperlakukan sama didepan hukum, tetapi dalam praktik dilapangan, prilaku diskriminatif dalam penegakan hukum sering terjadi.
Sebagai contoh, tindakan diskriminatif terlihat pada saat proses pengesahaan RUU OMNIBUS LAW. Banyak para tokoh, ahli hukum, dan LSM yang mengkritisi dan menentang keras pengesahan RUU Omnibus Law tersebut, bahkan ratusan ribu masyarakat dan mahasiswa di seluruh Indonesia melakukan demo unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law yang dianggap sangat merugikan masyarakat, tetapi yang di proses hukum hanyalah SAHGANDA NAINGGOLAN, JUMHUR HIDAYAT, dan ANTON PERMANA yang merupakan tokoh KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang dianggap bersebrangan dengan pihak pemerintah, sementara tokoh-tokoh pengkritis keras yang lain tidak ada yang di proses hukum.
Jika dikaji, sebenarnya sikap kritis para tokoh yang mengkritik RUU Omnibus Law tersebut adalah wujud pelaksanaan hak konstitusional warga negara yang ada dalam pasal 28E ayat 3 UUD 1945 dan oleh UU No. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum.
Dengan demikian memproses dan mengadili para tokoh yang mengkritisi suatu RUU ataupun yang mengkritik suatu kebijakan pemerintah adalah bertentangan dengan pasal 28E ayat 3 UUD 1945 dan UU No.9 tahun 1998.
Akibat lebih jauhnya membuat warga negara menjadi tidak berani bersuara, tidak berani mengeluarkan pendapatnya atas suatu hal yang di rasakan tidak benar dalam kehidupan bernegara, karena takut ditangkap dan dipenjara. Hal ini tentunya akan berakibat menurunkan kadar demokrasi di Indonesia yang telah di perjuangkan dengan susah payah sejak Reformasi 1998.
Tindakan diskriminatif lainnya yang menonjol adalah dialami Habib Rizieq Shihab dan kawan-kawan dalam proses hukum dugaan pelanggaran Prokes Covid-19. Habib Rizieq Shihab sendiri diadili dalam 3 Perkara terpisah; kerumunan di KS Tubun, kerumunan di Mega Mendung, dan dugaan informasi yang tidak benar atas kesehatan Habib Rizieq Shihab di RS UMI Bogor.
Proses hukum terhadap Habib Rizieq Shihab dengan 3 perkara terpisah dan dengan dakwaan pasal-pasal dengan ancaman hukuman tinggi yang tidak tepat dilakukan atas pelanggaran prokes Covid-19, seperti pasal 160 KUHP dan pasal 14 dan pasal 15 UU No.1 tahun 1946 memberikan kesan bahwa pemerintah dan aparat hukum berlaku keras dan tidak adil.
Sementara banyak tokoh dan pejabat yang terlihat melanggar prokes Covid-19 tidak di lakukan proses hukum seperti terhadap Habib Rizieq Shihab dan kawan- kawan. Bahwa diskriminatif hukum lainnya yang membuat kita sangat prihatin atas penegakan hukum adalah; tidak jelasnya dan tidak transparansinya proses hukum atas terbunuhnya 6 Laskar FPI yang di duga dilakukan oleh Aparat Kepolisian.
Terdakwanya tidak ditahan walaupun perkaranya sudah disidang di pengadilan, padahal sebagian tokoh dan pengamat hukum berpendapat terduga Pelaku dapat di tuntut atas dugaan Pelanggaran HAM berat.
Dalam penanganan perkara Munarman yang disangkakan dengan perkara terorisme, proses penanganan perkaranya di tingkat penyelidikan dan penyidikan, apparat menanganinya tanpa mengindahkan KUHAP.
Terduga Munarman tidak pernah di panggil sebagai saksi atau sebagai tersangka, tetapi langsung dijemput paksa secara arogan, padahal bukan dalam perkara tertangkap tangan, yang tidak memerlukan Surat Panggilan.
Di masyarakat, sepanjang tahun 2021, sering kita dengar ungkapan HUKUM TUMPUL KE ATAS TAJAM KE BAWAH, yang menggambarkan seakan-akan Penegakan Hukum yang tidak adil. Jika keadaan ini dibiarkan, kepercayaan rakyat terhadap hukum akan runtuh. Prinsip Negara Indonesia sebagai Negara Hukum tidak ada artinya
Prospek dI Tahun 2022
Kongres Advokat Indonesia (KAI) berharap agar penegakan hukum di Indonesia di tahun 2022 ini terjadi perbaikan yang signifikan, sehingga perilaku aparat penegak hukum yang arogan, yang diskriminatif yang tidak adil tidak terjadi lagi, dan agar setiap Warga Negara diperlakukan sama di depan Hukum.
Hal tersebut di atas bisa tercapai jika instansi penegak hukum, semua Lembaga Negara baik Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan semua stakeholder yang terkait dengan pranata hukum, profesor hukum, Organisasi Advokat, LSM hukum sama-sama menjaga, mengontrol, dan mengawal eksistensi Indonesia sebagai Negara Hukum, dan memperjuangkan SUPREMASI HUKUM.
Hal lain yang menjadi perhatian KAI di tahun 2022 adalah mengenai ketidak-adilan dalam praktik politik di Indonesia adalah menyangkut Presidential (Treshold). Bertentantangan dengan pasal UUD 1945, pasal 6 ayat (2), pasal 6A ayat (2), pasal 6A ayat (3), pasal 6A (4), pasal 6A ayat (5), pasal 22E ayat (1), pasal 28C ayat (2), pasal 28D ayat (1), pasal 28D ayat (3), pasal 28J ayat (1), dan pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Bahwa KAI akan mendukung atau mendorong setiap perjuangan warga negara dan partai politik yang mempunyai Legal Standing untuk mengajukan Judicial Review pasal 222 UU No.7 tahun 2017 UU tentang Pemilu, yang bertentangan dengan UUD 1945 yang sangat tidak adil secara Politik.
Dan kita berharap semoga hakim-hakim Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan aturan Presidential Treshold bertentangan dengan UU 1945. ***