Tulisan ini diinspirasi oleh serangan ransomware kepada Pusat Data Nasional (PDN) yang dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia atau Kominfo RI. Saya mencoba untuk menelaah sisi lain dari ransomware, yaitu keterkaitannya dengan bidang yang sudah lama saya tekuni yaitu sastra terutama puisi. Apakah memang ada suatu kesamaan walaupun hanya di beberapa titik?
Sebelum kita bahas lebih lanjut, mari kita lihat dulu apakah sesungguhnya ransomware? Sejak banyak mendampingi pakar teknologi dan transformasi digital Riri Satria yang biasa saya panggil Bang Riri, saja belajar banyak soal dunia digital dan siber ini. Definisi yang saya tangkap dan pahami adalah ransomware merupakan serangan berupa perangkat lunak berbahaya yang dikenal dengan istilah malicious software atau malware yang dikirim oleh peretas atau hacker untuk mengunci atau mengenkripsi komputer yang menjadi target. Peretas kemudian akan meminta uang tebusan untuk memulihkan akses. Kira-kira demikianlah ransomware bekerja.
Ringkasnya ransomware itu adalah program komputer yang tentu saja memiliki algoritma dengan tugas utama memasuki sistem komputer yang menjadi target, memperbanyak dirinya dan menyebar ke dalam jaringan komputer yang terkoneksi, menemukan data-data yang akan dikunci atau dienkripsi, dan ransomware modern sanggup menghapus jejaknya sehingga tidak terlacak. Jadi ransomware itu ditembakkan ke dalam sebuah lingkungan sistem komputer lewat internet, kemudian bersarang, memperbanyak diri, dan menginfeksi.
Penyebaran ransomware yang paling umum adalah melalui pengelabuan atau manipulasi sistem yang dikenal dengan phishing, eksploitasi kerentanan sistem, dan unduhan yang terinfeksi. Menurut riset yang dilakukan oleh Trend Micro, ransomware juga dapat menyebar melalui iklan berbahaya berupa malware yang dikenal dengan istilah malvertising, pesan yang mengandung tautan atau link berbahaya, dan bahkan melalui perangkat penyimpanan eksternal.
Penyebaran ransomware seringkali memanfaatkan kelemahan keamanan sistem atau kelalaian pengguna dalam menerapkan praktik keamanan cyber yang baik. Dampak dari serangan ransomware adalah gangguan operasional, kerusakan reputasi, dan potensi kebocoran data sensitif.
Hasil riset yang dipublikasikan oleh Osterman Research pada tahun 2022 menunjukkan bahwa hampir 35% target serangan ransomware adalah kelompok strata sosial elit seperti pemimpin bisnis, jaringan perusahaan besar, hingga pemerintah. Tentu saja ini terkait dengan besarnya uang tebusan yang diminta, seperti yang terjadi pada serangan terhadap PDN Kominfo RI, tebusan yang diminta adalah sekitar Rp. 131 Miliar.
Demikian mengerikan ransomware, lalu apa kaitannya dengan puisi?
Dari berbagai referensi saya menyimpulkan bahwa sasaran bidik dari puisi pada umumnya tertulis secara tersirat dari kata-kata kiasan yang digunakan oleh penyair. Di antara tujuan tersebut antara lain untuk penyampai pesan dalam wujud kompleks seperti religius, sosial, ungkapan empati, dan lain-lain. Tujuan tersebut dilandasi oleh tema yang akan disampaikan oleh penyairnya. Sedangkan membaca puisi bukan hanya sekadar melisankan puisi atau menyuarakan puisi, melainkan juga harus mampu mengekspresikan perasaan dan jiwa yang ditangkap oleh pembaca dari puisi tersebut, dengan kata lain puisi harus mampu “menginfeksi” dalam makna yang positif perasaan atau jiwa dari yang membacanya.
Ibarat ransomware, puisi juga harus mampu melakukan enkripsi dalam diri orang yang membacanya. Apa yang dienkripsi? Jawabannya: hal-hal buruk! Puisi harus mampu melakukan enkripsi hal-hal buruk dalam diri, dalam perasan atau jiwa seseorang, sehingga dia tidak mampu lagi mengaksesnya. Jika ini berhasil terjadi, maka di situlah letaknya puisi mampu melakukan penyadaran kepada manusia dan menyisakan hal-hal baik semata.
Dari sisi si penyair, puisi terbaik dihasilkan ketika si penyair benar-benar berada di tengah emosi dan berjuang untuk mendapatkan kejelasan atas kejadian atau fenomena yang diamati serta dialami. Setelah selesai menulis penulis biasanya berhenti sejenak dan merenungi lewat pikiran dan mempertimbangkan kembali hidup. Penulis diberikan kesadaran yang nyata tentang sesuatu yang baik dan buruk, datang dan pergi, ada dan tiada.
Proses tersebut perlahan dan berharap akan mempertemukan penyair dengan kejelasan yang diharapkan dan menuntunnya bergerak maju. Mengapa terjadi kejelasan? Karena melalui puisi si penyair melakukan enkripsi terhadap ketidakjelasan dan menyisakan kejelasan atau kejernihan. Namun memang harus diakui, tidak semua mereka yang menulis puisi sanggup melakukan enkripsi terhadap hal-hal negatif dalam diri mereka.
Jadi, ransomware dan puisi ada kesamaan, yaitu sama-sama melakukan enkripsi. Bedanya adalah tujuan enkripsinya yang nyata-nyata bertolak belakang. Enkripsi ransomware bertujuan negatif bahkan jahat, sedangkan enkripsi yang dilakukan puisi justru bertujuan baik yaitu mendapatkan kejelasan atau kejernihan, dengan mengenksripsi hal-hal toxic, ketidakjelasan, energi negatif, serta hal-hal buruk lainnya. Ransomware dan puisi sama-sama melakukan enkripsi, namun dengan tujuan yang berbeda, bahkan bertolak belakang.**
———–
Penulis : Rissa Churria,
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.