Tanggal 25 November 2025 kembali menjadi pengingat tahunan: Hari Guru Nasional. Di tengah gegap gempita seruan untuk “memuliakan guru” yang menggema di setiap penjuru tanah air, kita dihadapkan pada sebuah ironi yang memilukan. Bagaimana mungkin bangsa ini bisa terus merayakan martabat seorang pendidik, sementara pada saat yang bersamaan, kita membiarkan mereka berjuang dalam ketidakpastian kesejahteraan?
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab bangsa ini kini semakin intens, terutama dengan kehadiran Kecerdasan Buatan (AI) yang disruptif. Dalam konteks AI yang berpotensi mengubah lingkungan pendidikan secara radikal, sudahkah kita menjamin bahwa martabat pendidik dihargai sebagai tenaga profesional yang layak dan terlindungi?
Pendidik atau umum kita sebut sebagai guru adalah garda terdepan yang mampu menavigasi siswa melewati tantangan AI. Mereka harus berinovasi, beradaptasi, dan mengintegrasikan teknologi. Namun, bagaimana mungkin kita menuntut performa profesional kelas dunia, sementara dukungan dan kesejahteraan mereka berada di bawah standar? Diperlukan komitmen serius untuk memutus rantai ironi ini, memastikan bahwa pengakuan lisan mampu diterjemahkan menjadi perlindungan dan remunerasi yang setara dengan peran penting mereka.
Paradoks Digital dan Upah Kerja
Dunia pendidikan kita terperangkap dalam paradoks yang kejam. Di satu sisi, pendidik dituntut untuk menjadi garda terdepan Era Digital, membekali siswa dengan literasi teknologi dan keterampilan abad ke-21. Di sisi lain, mereka dipaksa bekerja dengan upah yang secara brutal tidak relevan dengan tuntutan profesionalisme tersebut. Bagaimana seorang guru dapat fokus pada inovasi digital dan peningkatan kualitas pembelajaran jika gaji bulanan mereka yang berdasarkan rata-rata pendapatan sebagian besar pendidik non-ASN dan guru swasta khususnya didaerah pada tahun 2024 yang hanya menyentuh antara Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta (Dhobith, 2024). Tentu saja kondisi ini memilukan karena jumlah tersebut jangankan untuk berinovasi bahkan untuk membeli paket data atau perangkat keras yang memadai tidak cukup? Jurang kesejahteraan, diperparah oleh fragmentasi status karier, tidak hanya menghancurkan motivasi, tetapi juga secara fundamental menggagalkan ambisi digital bangsa untuk mencapai SDGs (4).
Tuntutan Robotik, Realitas Analog
Dunia pendidikan kini hidup dalam kontradiksi yang menyakitkan: AI menuntut sementara infrastruktur menyandera. Para pendidik didorong ke garis depan revolusi AI, diwajibkan menjadi melek digital, adaptif, dan mahir dalam integrasi teknologi untuk personalisasi pembelajaran. Namun, tuntutan profesionalisme tingkat tinggi ini hancur di hadapan realitas lapangan.
Ribuan sekolah di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) masih terjebak dalam kondisi analog, bergulat dengan sinyal internet yang tersendat, listrik yang tidak stabil, dan perangkat digital yang minim. Kontras ekstrem ini memastikan satu hal buruk: kualitas pendidikan kini ditentukan oleh kode pos, bukan oleh potensi siswa atau pendidiknya. Ketidakseimbangan ini, ditambah dengan beban administrasi yang menumpuk dan kurikulum yang berubah-ubah tanpa dukungan gaji yang layak. Menurut (Fauzan, 2021) rendahnya remunerasi pendidik merupakan salah satu akar masalah yang membuat capaian PISA kita tetap rendah.
Tiga Pilar Wajib: Menuju Profesional Sejati
Membangun profesional pendidik sejati menuntut perubahan radikal dalam strategi kita mengembangkan kompetensinya. Mewujudkan pendidik profesional yang bermartabat bukanlah angan-angan, melainkan peta jalan yang harus didasarkan pada tiga pilar fundamental, yaitu:
- Membangun fondasi kesejahteraan dengan membuat standarisasi gaji layak nasional (di atas UMR) sehingga mampu menjamin pendidik dapat fokus sepenuhnya pada pengajaran.
- Menciptakan tata kelola yang adil dengan jalan menghilangkan fragmentasi status (PNS, PPPK, Honorer, Yayasan) digantikan oleh tata kelola pendidik terpadu yang menghilangkan diskriminasi struktural.
- Mengembangkan kompetensi berbasis pendampingan dimana pelatihan formal dieliminasi dan diganti dengan Coaching dan Mentoring yang praktis, guna memastikan peningkatan kompetensi langsung di kelas.
Tiga pilar ini adalah langkah wajib untuk mentransformasi peran pendidik dari sosok yang berjuang, menjadi tenaga profesional sejati yang siap menghadapi tantangan pendidikan abad ke-21.
Kebijakan yang Menghargai Profesionalisme
Memuliakan pendidik adalah utang moral dan administratif yang wajib dilunasi bangsa ini. Hari-hari di mana ucapan terima kasih saja dianggap cukup telah usai. Keberpihakan negara harus diwujudkan melalui kebijakan yang konkret dan berani melalui aksi nyata dengan memberikan gaji yang layak, tunjangan profesi yang wajar dan setara (termasuk bagi guru swasta), tata kelola yang adil, dan perlindungan hukum yang tak tawar-menawar.
Pendidik merupakan pemahat masa depan bangsa ini kedepan. Setiap ruang kelas, setiap capaian siswa, dan setiap karakter yang terbentuk berawal dari figur teladan yang dihargai martabatnya. Mengangkat martabat pendidik, berarti secara otomatis mengangkat martabat bangsa. Ini adalah investasi paling fundamental karena menguatkan kesejahteraan dan kompetensi mereka itu identik dengan mengoptimalkan masa depan Indonesia di panggung global.
Penutup
Kepada para Pendidik Bangsa, terima kasih atas jasa dan dedikasi luar biasa yang telah kalian berikan khususnya yang berbakti di daerah pesisir dan kampung-kampung nelayan. Hari ini, kami menyaksikan bukan hanya senyum kalian, tetapi juga perjuangan hebat yang tersembunyi di baliknya. Terima kasih karena dengan hati yang besar, kalian tetap berjuang, meskipun harus bertahan hidup dengan upah yang jauh dari layak. Kami berdoa, semoga Allah SWT membalas segala pengorbanan dan karya muliamu dengan tempat terbaik di sisi-Nya. Semoga jeritan hati ini didengar dan diwujudkan dalam kebijakan nyata oleh para pengambil keputusan. Merdeka…..Merdeka! Selamat hari guru yang ke 80 – 25 Nopember 2025.**
Dadan Zulkifli
Dosen Prodi Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Kepala Lembaga Penelitian dan Inovasi Kebijakan Kelautan dan Perikanan, Politeknik Ahli Usaha Perikanan



