Swara Pendidikan (Banyuwangi, Jatim)- Peran teknologi Artificial Intelligence (AI) kini mulai merambah ke dalam dunia sastra, bahkan mampu menciptakan karya sastra seperti puisi, meskipun proses penciptaannya jauh berbeda dari karya manusia. Hal itu disampaikan Riri Satria saat menjadi bintang tamu podcast Radar Banyuwangi, sebelum mengisi acara JSAT 2024 beberapa waktu lalu.
“Manusia mencipta puisi melalui proses kontemplasi, kebatinan, dan ada soul atau nyawa di dalamnya. Sementara, puisi yang dibuat AI lebih merupakan hasil dari kalkulasi matematika,” ungkapnya.
Meski begitu, Riri melihat kehadiran AI dalam dunia sastra sebagai sebuah perspektif baru yang menarik, sekaligus tantangan bagi para sastrawan. “Terjadinya pergeseran penciptaan demam estetika ke arah metà estetika, di mana proses penciptaan karya sastra dilakukan mesin namun dikendalikan sastrawan melalui teknik prompting,” jelas Riri.
Menurutnya, ini fenomena yang sangat fenomenal. “Teknologi, termasuk AI, berkembang sebagai bagian dari sunatullah, tetapi manusia memiliki potensi yang jauh lebih besar karena dianugerahi enam level kecerdasan oleh Tuhan,” tuturnya.
Dia menambahkan, jika manusia tidak mampu memaksimalkan potensinya, mereka bisa kalah bersaing dengan mesin, dan yang tersingkir adalah individu yang tidak mau berkembang.
“Manusia yang berinteraksi dengan AI ada tiga kategori, yaitu pengguna murni, pengguna cerdas (smart user), dan pengembang AI. kita pentingnya menjadi pengguna cerdas, yang mampu memanfaatkan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti kreativitas dan kemampuan berpikir kritis, “ imbuhnya.
Selain itu, Riri juga menyoroti tantangan bagi kurator sastra dalam membedakan karya yang dihasilkan manusia dengan karya yang diciptakan oleh AI.
“Kurator yang baik harus bisa menilai dan mengidentifikasi apakah sebuah puisi adalah karya manusia atau hasil dari AI. Jika tidak, yang dipertaruhkan adalah kredibilitas kurasi itu sendiri,” ujarnya.
Riri menutup perbincangan dengan penegasan bahwa teknologi, termasuk AI, diciptakan untuk membantu manusia. Namun, dia mengingatkan bahwa manusia harus tetap menjadi agen perubahan, bukan sekadar mengikuti perubahan.
“Kita harus terus belajar, terus menciptakan perubahan, karena manusia adalah makhluk perubahan. Jangan sampai kita kalah oleh AI hanya karena kita malas belajar dan tidak konsisten,” pesannya.
Diakhir, Riri Satria ini menyampaikan, meskipun teknologi terus berkembang, esensi kreativitas manusia tetaplah sesuatu yang unik dan tidak tergantikan. “Tantangan ke depan adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan teknologi untuk memperkaya karya dan tetap mempertahankan kemanusiaan dalam setiap prosesnya,” tutupnya.
Pewarta : Rissa Churria
Editor : NJ Saputra)