“Pak biaya kuliah Ahmad harus dibayarkan sepuluh hari lagi. Tabungan pendidikan anak-anak hanya tersisa dua jutaan, masih kurang tiga juta lagi,” ucap Ibu Ani sambil menyetrika pakaian.
“Iya Bu, Bapak juga masih mengusahakan. Untuk bulan ini sepertinya bapak belum bisa memberikan ibu uang. Ada aturan baru di sekolah jadi untuk penggajian, jadi gaji bulan ini tertunda. Ibu tahu kan, Bapak belum mendapatkan Surat Keputusan Pengangkatan,” jelasnya lesu.
Tiga tahun lalu dengan bangganya Pak Sanusi membawa kabar bahagia ke rumah sederhana mereka. Kelulusannya dalam tes penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja memberikan cahaya terang dalam kehidupannya sehari-hari. Gaji bulanan sebagai guru swasta tidak cukup jika istrinya hanya berpangku tangan.
Semenjak putra pertama mereka, Ahmad naik ke kelas dua belas di Sekolah Menengah Kejuruan dan adiknya, Kanaya masuk SMP istrinya membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan menyetrika pakaian dari beberapa keluarga di perumahan depan kontrakan mereka.
“Bu, bapak lanjut gojek ya pulang kerja nanti. Mudah-mudahan hari ini ramai penumpangnya,” ucap Pak Sanusi pamit pada istrinya sambil merapikan bekal makan siang dan botol minum yang selalu menemaninya bekerja.
Ibu Ani mematikan saklar untuk bersalaman dengan suaminya. “Semoga hari ini bapak dapat uang untuk tambahan biaya kuliah,” batinnya berucap sambil mendoakan keselamatan suaminya hingga pulang nanti.
***
“Bu, ini gaji bulan ini semoga bisa ditabung sedikit untuk tambahan biaya kuliah,” ucap Pak Sanusi memberikan amplop berisi uang yang diambilnya dari bank siang tadi.
“Alhamdulillah. Ibu masukan semua saja ya Pak, nanti untuk harian dari pendapatan ojek bapak saja. Jika nanti ditambah gaji menyetrika ibu insya Allah cukup untuk biaya kuliah,” jawabnya pelan khawatir Ahmad atau Kanaya mendengar percakapan mereka.
“Iya Bu,” jawab Pak Sanusi singkat sambil melangkah keluar kamar untuk membersihkan badan.
Siang tadi Pak Sanusi bertemu dengan beberapa rekan guru yang sama-sama telah lulus dan menunggu SK Pengangkatan. Beberapa informasi yang didengar mereka dari media sosial adalah pengangkatan mereka akan kembali ditunda. Setelah menunggu hampir empat tahun ternyata ujian kehidupan masih akan mereka hadapi.
Kemarahan hingga kebencian yang terbersit pada pemangku kebijakan dan pemerintahan terkadang tak luput terucapkan dari percakapan mereka. Tanggung jawab mereka sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah membuat akal sehat terkadang lepas kendali. Namun saat kembali berkaca melihat kehidupan di sekitarnya yang lebih memilukan, rasa syukur masih dapat bekerja, bagai embun yang menyirami kegelisahan hati.
Hembusan nafas dalam Pak Sanusi terdengar sesaat masuk ke dalam bilik kecil. Tak lama bunyi kran air dibuka dan air mengalir bergantian dengan irama cipratan air mengenai pintu yang terbuat dari seng.
***
“Ibu… Kanaya…!!”
Teriakan Pak Sanusi terdengar di sepanjang gang masuk kontrakan. Berita banjir yang terjadi pagi ini di wilayah tempat tinggal mereka membuatnya izin pulang cepat untuk melihat kondisi keluarganya. Pagi tadi Kanaya masih demam sehingga tidak masuk sekolah. Terbayang air yang masuk ke dalam rumah seperti yang dilihatnya dalam berita tadi bertambah khawatir dengan kondisi Kanaya.
Bagian depan kontrakan mulai digenangi air. Langkah Pak Sanusi semakin cepat menerobos pintu yang terbuka. Istrinya dibantu Kanaya sedang memasukkan barang-barang berharga ke dalam tas. Beberapa barang elektronik dilihatnya sudah diamankan di atas meja.
“Ibu…, cepat keluar dengan Kanaya! Bapak saja yang melanjutkan mengamankan rumah. Tadi bapak sudah izin menitipkan beberapa barang di rumah tingkat depan,” ujar Bapak sambil mengecek kembali laci yang berisi surat-surat penting.
“Semua sudah ibu amankan Pak. Kita amankan kasur dahulu pak, ibu bantu naikkan ke loteng,” ucap ibu berusaha tenang.
“Ibu dan Kanaya keluar saja, Abang dan Bapak yang mengamankan kasur! Air naiknya cepat Bu, tidak seperti sebelumnya,” suara Ahmad yang baru sampai melegakan bapak.
“Ya sudah, hati-hati. Jika nanti harus keluar mengungsi jangan memaksa. Ibu dan Kanaya mencari lokasi yang aman dahulu di depan perumahan,” pesan ibu sebelum meninggalkan rumah yang sudah dimasuki air setinggi betis.
***
Besok, Pak Sanusi dan ratusan rekannya yang sudah menanti dengan penuh kesabaran akan menerima Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Cahaya yang dirasakan meredup saat membaca berita penangguhan dan bencana banjir seakan kembali berpendar. Pak Sanusi kini bersiap untuk memberikan kebahagiaan untuk keluarganya.
Setelah memilih dan membeli kemeja putih yang akan dikenakannya besok, Pak Sanusi juga mampir membeli makanan kesukaan Kanaya putrinya. Senyum kebanggaan dan kebahagiaan tak lepas dari bibirnya sejak pagi tadi saat pamit pada istrinya.
“Ibu, akhirnya penantian panjang bapak akan berakhir. Bapak ingin memberikan kebahagiaan buat kalian semua. Semoga perubahan nasib keluarga kita akan dimulai besok ya bu,” ucapnya saat pamit bekerja.
“Iya Pak, semoga semuanya berjalan lancar ya Pak,” jawab ibu sambil tersenyum dengan doa yang tulus.
Pak Sanusi berjalan pelan menuju motor yang diparkirnya. Setelah menggantungkan kemeja dan makanan di motor, dinyalakan mesin motor dan mulai menarik gas keluar parkiran. Diberikannya karcis parkir pada petugas di pintu, saat akan menarik gas kembali teriakan-teriakan yang membuat mata yang mendengar langsung tertuju pada pintu parkir.
“Rem blong! Awas…!!!”
“Minggir!!!”
“Akhhhhhh!!”
***
“Bu Ani, kami turut berduka cita. Mohon diterima asuransi dan beasiswa untuk putra dan putri almarhum,” ucap wakil dari penyedia asuransi yang memberikannya pada keluarga korban kecelakaan lalu lintas dua pekan lalu.
Pak Sanusi dan petugas pintu parkir meninggal karena tak dapat menghindari mobil boks yang mengalami gagal rem. Namun senyum di bibir Pak Sanusi tak pernah hilang hingga jenazahnya dimakamkan. Senyum kebahagiaan bahwa ujian yang dilaluinya kini sudah berakhir.
Penulis: Oase_biru