Matahari perlahan menyinari percikan semburat jingganya dari balik ufuk timur, air lajut menyirami pasir pantai dengan tenang. Angin berhembus mengayun dedaunan, diiringi suara nyanyian burung yang mengalun indah. Udara berbisik hati memberikan suhu sejuk, banyak jiwa yang perlahan kembali dari alam mimpinya.
Ditengah terbitnya sang mentari, kepulan asap putih yang membumbung di udara memenuhi ruangan sempit yang hanya bersekatan kardus yang telah usang dan kusam, bahkan lubang dimana mana terdapat di dinding rumah.
Bangunan ini tak layak disebut sebagai rumah, namun gubuk yang menyimpan kesesakan didalamnya. Tidak ada meja, kursi, atau lantai keramik, hanya tanah yang beralaskan tikar usang.
“Diminum dulu tehnya, nak Sayyan,” ujar lelaki dengan wajah senja dan garis garis ketegasan penuh wibaawa, sambil menghisap batang nikotin yang terselip diantarate kedua jarinya.
Itu Pak Tono, orag pertama yang menyambutku ketika diriku menginjakkan kaki ditempat ini. Aku Sayyan, mahasiswa semester 5 yang berkuliah disalah satu kampus ternama di Jakarta. Kini aku sedang mengisi hari liburku ke desa pedalaman bersama teman sepantaranku, Tanu. Sudah hari ke 3 kami berada disini.
Tidak sekedar berlibur, kami juga berbagi kepada warga setempat. Selain itu kami mewawancarai para pekerja disana, seperti petani, nelayan, peternak, dan lainnya. Kami juga mengajarkan sistem pertanian yang efektif, agar meningkatkan produktifitas para petani.
Salah satu kegiatan favorit kami ialah mengajarkan anak-anak disini yang tidak mampu menempuh pendidikan sekolah. Kami mengajarkan mereka membaca, menulis, menghitung, juga mata pelajaran umum lainnya.
Menceritakan kesejarahan Indoinesia, juga keberagaman yang terdapat didalamnya. Tanu mengajarkan mereka beberapa bahasa daerah. Sedangkan diriku mengajarkan nilai nilai Pancasila.
“Sebelum berakhir, kak Sayyan beri pertanyaan dulu nih!” anak-anak disana menegakkan badannya, menunggu kalimat selanjutnya yang akan aku lontarkan.
“Apa lambang Pancasila ke empat!”
Ketika kata terakhir dilontarkan, mereka berlomba lomba mengangkat tangan setingi mungkin, raut memelas ingin dipilih terpatri di wjah mereka. Aku tersenyum gemas
“ya..! kamu icha!” ujarku menunjuk gadis dengan pakaian abu-abunya yang lusuh.
Dengan senyuman sumringahnya, ia bangkit dan dengan percaya dirinya melangkahkan kakinya kedepan.
Aku tergerak “Kepala Banteng!” jawab anak itu, aku bertepuk tangan diikuti yang lainnya.
Hingga akhirnya kegiatan ini berakhir, anak anak sanggar menghela napas kecewa, namun berterimakasih setelahnya. Aku dan Tanu mengobrol sedikit dengan warga mengisi waktu senggang, namun terdengar teriakan dari kejauhan mengintrupsi kegiatanku.
“Koe iki sipit banget kayak turu!” perkataan dari mulut anak tersebut mengundang banyak perhatian, Ana.
Anak anak yang baru saja mengatakan secarik kalimat tersebut tertawa terbahak bahak di depan anak sepantarannya yang sedang menatap ana bingung.
Anak berwajah khas Tionghoa itu bernama Lin lin, Tanu tiba tiba saja berjalan mendekati kedua anak tersebut, aku mengikutinya dari belakang, berusaha menyamakan langkah kaki Tanu yang lebar.
“Ana sini kak Tanu kasih tau, ” Tanu berjongkok agar dapat menyamakan tinggunya dengan Ana.
“Kan baru saja kak Sayyan dan Tanu jelaskan, bahwa kita kini berada di negeri yang kaya akan keberagaman, Indonesia. Suatu perbedaan bukanlah aib diantara kita, perbedaan juga menjadi hal yang unik, bahkan dapat menciptakan semboyan dengan berjuta makna didalamnya,” jelas Tanu.
“Nah, maka dari itu, yuk saling menghargai dan menghormati. Semakin banyak perbedaan, Indonesia juga akan menjadi negara yang tak kalah kerennya dengan negara-negara maju diluar sana,” aku menimpali.
Namun anak itu menatap kami sinis, melenggang pergi tanpa sepatah katapun yang dilontarkan. Kami menghela napas, memilih pulang ke tempat singgah sebab cakrawala mulai menggelap.
Suara bising diluar mengganggu waktu lelapku, aku menggeram kesal, berpikir bahwa itu Tanu yang sedang menjahiliku. Aku mengerjap perlahan. Merengut kembali jiwaku yang pergi entah kemana saat mataku sepenuhnya terbuka. barulah aku sadar saat melihat asap hitam memenuhi ruangan akibat menyelinapnya mereka lewat jendela yang tak sepenuhnya tertutup.
Dengan perasaan panik, aku segera membangunkan Tanu. Kami keluar melihat kondisi.
“Kebakaran!” suara ricuh dari banyaknya insan mengudara, para warga berbondong bondong menyirami api yang terus membesar. Si jago merah dengan ganasnya melahap rumah warga.
Banyak suara tangisan yang memekakkan telinga, perasaan takut mendominasi dalam keadaan seperti ini.
Ditengah keributan ini, aku salah fokus deng Lin lin, si anak Tionghoa itu sedang berusaha menyelamatkan Ana, mereka menjauhi kobaran api yang masih saja membara.
Dada keduanya kembang kempis. Kembali menghirup udara segar setelah pasokan asap yang memenuhi dadanya . Ana memeluk Linlin erat, menumpahlan tangisannya dibahu sempit temannya.
2 jam telah berlalu warga tengah mengistirahatkan tubuhnya kembali setelah dihadapkan kejadian menegangkan tadi. Penyebab tersulutnya api tersebut adalah ayah Ana.
Ayah Ana banyak menyimpan sampah-sampah yang mudah terbakar dirumahnya, hingga saat ada percikan api mengenai benda tersebut, berkobarlah api dengan ganas, karena hal tersebut aku akhirnya banyak mengajarkan kepada anak anak sanggar.
tiba tiba saja derap kaki terdengar.
“Yan!liat ini!” Tanu menghampiriku dengan selembar kertas di genggamannya, itu berisi pendaftaran lomba, aku dan Tanu memutuskan untuk mendaftarkan mereka.
Tak terasa, kejadian menyenangkan, mengharukan kami lewati, anak anak sanggar semakin berkembang. Kami dengan berat hati meninggalkan desa penuh kenangan tersebut. Kami juga menjanjikan kepada warga untuk mampir sewaktu waktu . **
SABIHISMA AMALIA RAMADHANI, SMPIT UMMUL QURO (JUARA 1 CIPTA CERPEN, FLS SMP/MTs TINGKAT KOTA DEPOK)
1 Komentar
Karya yang menginspirasi kita untuk selalu belajar menjadi insan yang lebih baik, menyikapi setiap keadaan dan melakukan sesuatu untuk sebuah perubahan.