Di tengah lanskap sastra Indonesia yang terus tumbuh, hadirnya kumpulan cerpen Saga, Serigala, dan Sebilah Mandau karya Shantined merupakan penanda penting, tidak hanya karena keberanian tematik yang diusungnya, tetapi juga karena keberpihakan estetik dan naratifnya yang sangat khas. Buku ini bukan sekadar kumpulan cerita pendek; ia adalah sejenis narasi panjang tentang luka, keberanian, pengakuan, dan pemulihan, terutama dari sudut pandang perempuan yang kompleks dan tak jarang terpinggirkan.
Sebagai penulis, Shantined membangun dunia fiksinya dengan keberanian mengolah isu-isu yang kerap dihindari: kekerasan dalam rumah tangga, trauma masa kecil, percintaan yang tidak adil, dan tubuh perempuan sebagai arena konflik. Namun ia tidak jatuh pada eksploitasi tema. Cerita-cerita dalam buku ini justru tampil dengan kesadaran artistik yang tinggi. Gaya bahasanya puitis, namun tidak melantur; narasinya intim, namun tetap tajam. Di sinilah kekuatan Shantined sebagai pencerita terasa: ia menempatkan dirinya sekaligus sebagai pengamat dan pelaku, sebagai saksi dan suara.
Lihat saja cerita “Perahu,” yang menjadi salah satu naskah paling mengguncang dalam buku ini. Tokoh perempuan yang menjadi korban kekerasan fisik dan batin dari suaminya, pada akhirnya memilih untuk membalas dengan cara brutal: mutilasi. Tetapi adegan itu bukan sekadar klimaks kekerasan; ia merupakan bentuk simbolik dari pembebasan dan pengambilan kembali kendali atas tubuh dan hidup. Dalam kacamata feminisme, ini adalah bentuk resistensi radikal terhadap sistem patriarki yang menindas. Shantined menghadirkan sosok perempuan yang tidak lagi mau tunduk, melainkan berdiri sebagai subjek penuh yang berani menolak.
Cerita-cerita lain seperti “Serigala dalam Kepalaku” menampilkan sisi batin perempuan yang lebih dalam lagi. Serigala, di sini, bukan hanya hewan liar, tetapi metafora dari hasrat bawah sadar, kekuatan tersembunyi, dan kemarahan yang dipendam. Dengan pendekatan psikoanalitik, kita bisa membaca cerita ini sebagai gambaran internalisasi konflik jiwa yang berkelindan antara identitas, insting, dan kesadaran sosial. Di sinilah Shantined menggabungkan unsur mitos, psikologi, dan puisi dalam satu tubuh narasi.
Cerpen seperti “Emak” dan “Kau Telah Pergi” menawarkan dimensi lain dari buku ini: nostalgia, kehilangan, dan cinta yang bersisa dalam bentuk kenangan. Shantined memperlihatkan bahwa kerentanan bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang paling jujur. Dalam cerita-cerita ini, bahasa ditulis seperti doa, perlahan, hening, namun menggugah. Ia menulis tentang perempuan dengan tubuh yang tak hanya sakit, tapi juga ingat; tak hanya luka, tapi juga bertahan.
Secara bentuk, cerpen-cerpen Shantined memadukan struktur realis dan surealis. Ada yang naratif-linier, seperti dalam “Jalan Saga 5”, tapi ada juga yang lebih surealistik seperti dalam “Ia” atau “Mata Suwung,” di mana unsur-unsur magis digunakan untuk mengekspresikan spiritualitas dan keterasingan. Di sinilah terasa pengaruh realisme magis ala Gabriel Garcia Marquez yang menyatu dengan lirisitas khas sastra perempuan Indonesia modern. Dalam karyanya, Shantined berani memperlambat waktu, memperhalus rasa, dan mengangkat yang kecil menjadi puncak.
Yang menarik pula, Shantined tidak terpaku pada satu latar atau identitas. Ia membawa pembaca ke berbagai tempat: Depok, Bontang, Balikpapan, hingga ruang batin yang tak bernama. Ia menulis perempuan urban, namun juga menyentuh lokalitas, seperti dalam “Kopi, Parfum, dan Sebilah Mandau.” Di situ, pembaca diajak menyelami benturan antara modernitas dan warisan budaya, antara arus pasar dan suara leluhur. Ini bisa dibaca dalam kerangka teori postkolonial, bahwa identitas bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan medan pertarungan narasi dan ingatan.
Bila kita menyebut nama-nama seperti Ayu Utami, Linda Christanty, dan Toeti Heraty dalam konteks sastra perempuan Indonesia, maka Shantined layak masuk dalam barisan penerusnya yang memperkuat dimensi spiritual, politis, dan psikologis dalam cerita pendek. Karyanya adalah bentuk perlawanan terhadap penyederhanaan perempuan sebagai objek narasi; ia menulis perempuan sebagai pusat, bukan pinggiran. Bahkan ketika tokoh-tokohnya kalah, luka, atau tidak selesai, mereka tetap berdiri dengan martabat dan kata-kata.
Saga, Serigala, dan Sebilah Mandau pada akhirnya adalah semacam “mantra kesembuhan”—bagi siapa pun yang pernah merasa asing di tubuhnya sendiri, bagi mereka yang pernah diam dalam kekerasan, atau yang sedang mencari ruang untuk bernapas di dunia yang terlalu ramai. Ini bukan buku yang membahagiakan, tetapi buku yang jujur. Dan di tangan Shantined, kejujuran adalah bentuk keberanian paling tinggi.
Semarang, 10.05.2025
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 10 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, 1 buku Pedoman Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa, 1 buku Esai, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.