Oleh : Jojo Sutarjo
salah satu ciri orang-orang kafir adalah berbohong kepada Alloh dan kepada orang-orang mukmin. Hal ini sebagaimana tersurat dalam Qur’an surat Al Baqiroh ayat 7 yang artinya: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang berkata kami beriman kepada Alloh dan hari akhir padahal mereka tidak beriman. Mereka hendak berbohong kepada Alloh dan kepada orang-orang yang beriman. Dan tidaklah mereka berbohong melainkan untuk dirinya sendiri. Dan mereka tidak menyadarinya”.
Seorang mukmin tentu dengan penuh kesadaran dan pemahaman ilmu tentang keyakinan yang dimilikinya tidak sekedar diucapkan dengan lisan, tapi ia merupakan dorongan atas pembenarannya dalam hati dan akan terlihat pula dalam sikap dan tindakannya dalam kehidupan baik pribadi, keluarga, masyarakat maupun bernegara. Hal ini sesuai dengan sabda Rosululloh: ‘Iman itu membenarkan dalam hati, di ikrarkan dengan lisan dan melaksanakan dalam perbuatan”.
Beriman Kepada Allah
Beriman kepada Alloh mengandung konsekwensi logis. Ia bukan akuan seperti yang diucapkan oleh orang- orang kafir tersebut di atas. Tapi beriman kepada Alloh itu menyertakan seluruh dimensi rasa dan logika sehingga akan terbentuk sebuah paradigma Bismirobbik, yakni sudut pandang dan cara pandang yang mengacu pada eksistensi Alloh sebagai Robb (pencipta, pemelihara dan pengatur). Karena dari paradigma inilah maka sikap dan prilakunya dalam beribadah dan bermuamalah akan terukur dan teratur dalam bingkai syariah.
Bagi seorang mukmin, beriman kepada Alloh akan melahirkan mahabah (kecintaan) dan ketaatan. Cinta yang akan melampaui cinta kepada diri, anak dan harta. Hanya saja Alloh memberi syarat bahwa cinta kepada Alloh itu harus didasarkan pada cinta yang terbimbing oleh tuntunan Rosululloh sebagaimana termaktub dalam FirmanNya: “Katakanlah, jika kamu cinta kepada Alloh, maka ikutilah aku (Rosululloh)…”. (QS.Ali Imron(3): 31).
Ketaatan kepada Alloh SWT adalah wujud dari kecintaan kita kepada Alloh. Dan ketaatan kepada Alloh SWT harus diikuti ketaatan kepada Rosululloh. Karena tanpa ketaatan kepada Rosululloh maka seseorang tidak diterima amal ibadahnya. Banyak ayat yang memberi penjelasan tentang hal itu, sebagaimana yang tertera dalam Qur’an surat (3:32,142/4:59/5:92/8:1,20,46).
Ketaatan kepada Alloh dan ketaatan kepada Rosululloh SAW juga harus diikuti dengan ketaatan kepada Ulil Amri (pemimpin). Hanya saja ketaatan kepada pemimpin itu harus diberikan kepada mereka bukan dalam perkara maksiat kepada Alloh. Hal ini telah ditegaskan dalam sabda Nabi : “tidak ada ketaatan dalam mksiyat kepada Alloh”.
Yang perlu digaris bawahi dalam konteks ini, bahwa beriman kepada Alloh menuntut kepada konsekwensi logis untuk taat kepada Rosululloh dan juga taat kepada Ulil Amri yang menjalankan ketaatan (hukum, ketetapan) Alloh. Maka bisa dikatakan bahwa legitimasi ibadah seseorang kepada Alloh itu berdasarkan ketaatan kepada pemimpin dan kepada Rosululloh. Suatu yang mustahil seseorang mengaku taat kepada Alloh tapi tidak sepenuhnya mengikuti Sunnah Rosulnya dan tidak memiliki ketaatan kepada pemimpinnya.
Para Ulama telah merumuskan konsepsi tauhid (amantu Billah) dengan istilah Tauhid Mulkiyah, Tauhid Ukuhiyah dan Tauhid Rubbubiyah (Asma Wasifat). Hal ini mengacu pada QS. Al Fatihah dan Surat An-nas. Dengan konsepsi tauhid seperti ini maka kita benar-benar bisa memahami tentang eksistensi Alloh dalam keseluruhan dimensinya dalam kaitannya dengan manifestasi tugas (sebagai abdun), peran (sebagai Kholifah) dan fungsi (sebagai rahmatan Lil alamin) manusia di muka bumi.
Menjadi keniscayaan bahwa doktrin amantu Billah dalam kaitannya dengan tugas peran dan fungsi manusia secara tersirat maupun tersurat harus memenuhi beberapa indikator penting yakni: terpimpin, terorganisir, dan terprogram serta terencana untuk mencapai tujuan bersama yakni memperoleh Ridho ALLOH sebagai visi nya dan mendzohirkan (memenangkan) agama Alloh sebagai misi nya.
Terpimpin
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa legitimasi ibadah seseorang itu atas ketaatannya kepada pemimpin. Dan memberikan bayi’at kepada pemimpin merupakan kewajiban setiap muslim. Karena pemutus perkara antara seorang muslim yang satu dengan lainnya adalah pemimpin. Dan pemimpin ibarat nahkoda dalam sebuah kapal, yang akan membawa berlayar kapal tersebut mengarungi samudera kehidupan dengan selamat sampai tujuan. Maka dalam konteks inilah wajibnya kita memilih pemimpin yang amanah dan adil yang berpegang teguh pada Qur’an dan Sunnah.
Terorganisir
Sebagaimana atsar Ali bin Abi Talib yang berbunyi: “Kebenaran yang tidak terorganisir, akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir”. Pengorganisasian merupakan indikator penting sebagai manifestasi dari keimanan kepada Alloh. Imamah dan jamaah merupakan wujud yang paling nyata dari organisasi dalam bangunan Islam. Ada hak dan kewajiban yang mengikat bangunan tersebut, dan ada pendistribusian tugas yang diberikan sesuai dengan struktur organisasi yang dibentuk. Tentu saja struktur organisasi dalam bangunan Islam harus memenuhi aspek pelayanan terhadap hajat hidup manusia.
Bangunan (organisasi) Islam mengikat secara ketat seluruh jamaahnya baik kedalam maupun keluar. Karena bangunan Islam memiliki visi dan misi yang berorientasi pada upaya dan usaha yang sungguh-sungguh setiap anggotanya untuk tegaknya syariat Islam secara kaffah sebagaimana difirmankan dalam Qur’an surat Al Baqoroh ayat 208. Tentu saja ayat ini menjadi pedoman bakti bagi seorang mukmin untuk menggunakan seluruh potensi dirinya baik amwal maupun anfus nya semata-mata dalam rangka berjihad di jalan Alloh.
Terprogram
Kalo kita mengacu pada firman Alloh yang artinya:”apabila telah menyelesaikan satu urusan, maka selesaikanlah urusan yang lain”.(QS. Al Insyirah: 7). Maka dapat dipastikan ada program yang harus disusun atau dirumuskan. Karena kita akan berhadapan situasi dan kondisi yang berbeda ketika Al Qur’an ini harus direalisasikan. Tatbiqus syariah dan maqosidusvsyariah harus difahami secara tegas untuk memahami teks dan konteks Alquran. Dan yang paling pokok adalah program pemenangan atau perjuangan Islam harus meliputi tatanan kehidupan yang mencakup idiologi, politik, budaya, sosial, ekonomi, teknologi, pendidikan, pertahanan dan keamanan.
Terencana
Perencanaan menjadi indikator kemenangan. Tanpa perencanaan mustahil kemenangan bisa diraih. Perencanaan diarahkan pada proses perubahan yang harus diraih yakni perubahan pada diri ( syakhsiyah Toyyibah), perubahan pada keluarga (usroh Toyyibah), perubahan pada masyarakat (Qoryah Toyyibah) dan perubahan pada negara ( baldah Toyyibah) yang pada akhirnya akan terwujudnya khilafah ala minhajin nubuwwah. ( Bersambung)