Master Depok, Dulu dan Kini

by
0 Komentar 1148 Pembaca

Swara Pendidikan.co.id (DEPOK) – Cerita  ini berawal dari keprihatinan kami dan  beberapa kawan dari kampung Lio, Sengon dan Pitara, yang sama-sama besar di jalanan antara Depok – Lebak  Bulus – Kp. Rambutan, melihat anak-anak jalanan yang mencari nafkah dilampu merah dan kereta api sekitar Depok di Era ’90 – an dan saat itu Depok belum “apa-apa”.

Di era itu, kami bersama kawan-kawan selalu membayangkan “seperti apa jadinya  Depok 10 sampai 30 tahun nanti,” itulah awal kami memulai diskusi.

Diskusi terus berlanjut sampai Terminal Depok tahun 1992 mulai beroperasi, Di Musholla sebelah menara pengawas Terminal Depok itulah saksi bisu, tempat kami berargumentasi.

Mulai Mendata

“Kita harus berbuat demi masa depan mereka,” kataku. Selanjutnya mulailah kami melakukan identifikasi anak-anak putus sekolah yang bertebaran di stasiun Citayam, Depok Lama, Depok Baru sampai Universitas Pancasila.  Sebab ketika itu terminal Depok masih belum terlalu ramai.

Kami data semua pengamen pendatang, anak-anak jalanan yang beroperasi di dalam Terminal. Tak jarang “hukum jalanan” berlaku buat anak-anak yang coba masuk ke Musholla dengan kondisi mulut bau minuman keras atau mabuk. Karena prinsip kami saat itu “silahkan ngamen dengan sopan”.

Saat malam tiba, kami terkadang harus tidur diluar mushola, didalam selalu dipenuhi para tunawisma, dan anak-anak jalanan yang berjejer bak ikan teri, terlelap pulas kelelahan, usai seharian mengamen.

Seorang kawan (buat sobat ku Dino, semoga engkau tenang dialam sana, dan semoga Alloh swt menerima amal ibadahmu. Aamiin), berinisiatif  membuat pengajian rutin bagi komunitas kecil kami.  Terkadang  kami juga urunan dari hasil ngamen untuk mendatangkan ustadz kampung memberi tambahan pengetahuan agama kami.

Cikal Bakal Sekolah Master

Seiring waktu, Terminal pun  makin ramai. Gesekan antar kelompok juga sulit untuk dihindari.  Tetapi Alhamdulillah, keberadaan komunitas kecil kami diterima oleh semua kelompok (baik etnis, maupun kelompok preman yang sering kami istilahkan dengan timer). Bahkan Kami juga ikut berbaur dengan masyarakat terminal dan sekitar stasiun Depok Baru.

Melihat keseriusan kami dalam menangani anak-anak jalanan, beberapa kawan berinisiatif menjadi sukarelawan untuk memberikan pengajaran.  di sela waktu mereka istirahat. Inilah cikal bakal Sekolah Master (Masyarakat/ Masjid Teminal).

Selain aktifitas mengamen dan latihan mengajar sambil ngaji bareng, kami dan kawan-kawan juga coba untuk mencari peluang melalui para pelanggan pendengar suara merdu kami di bus-bus metromini, kopaja, patas dan Kowanbisata di terminal. Hasilnya kami tampil di sebuah acara televisi swasta nasional, dengan grup BISKA (Bis dan Kereta Api).

Reformasi

Tahun 1997-1998, saat demam demo pra reformasi berlangsung, kami dan teman-teman ikut memobilisasi rekan-rekan untuk menjadi sukarelawan kemanusiaan terhadap korban aparat saat bentrok dalam demonstasi (KSR-Korps Sukarelawan). Ada juga beberapa kawan yang maju jadi perwira demonstran (selamat jalan kawan-kawan yang lebih dulu ke pangkuan Ilahiy).

Pasca reformasi, mulailah proses regenerasi di Musholla Terminal Depok . Para senior kami sebagian besar hijrah menjadi enterpreneur alias wira usaha, aktifis sosial-politik-kemasyakatan, atau bekerja secara formal di berbagai sektor.

Terminal Depok makin diramaikan pendatang

Di awal tahun 2000-an, terminal Depok semakin padat dan  keras. kekhawatiran kami dan teman-teman terhadap nasib anak-anak yang jadi binaan kami di Musholla Terminal dan Kampung Lio muncul. relawan pengajar anak-anak jalanan bergantian datang dan pergi.  Terminal Depok dan stasiun Depok Baru dipadati para pedagang dan pendatang dari berbagai daerah.

Kami kembali mulai melakukan pendataan ulang anak-anak binaan yang masih tersisa di Musholla Terminal. Sayangnya, setelah berjuang sekian lama kami belum mampu untuk melembagakan secara formal aktifitas kami. Komunitas kami tak juga bertambah besar (dari sisi organisasi), mungkin karena memang dari awal orientasi kami hanyalah soksial alias orang-orang yang sok, kami yang sial (istilah dari kawan Iyus di terminal, he…he..). Walaupun ada beberapa lembaga yang mengulurkan tangan memberikan bantuan. Sayangnya ada lembaga-lembaga tersebut yang coba untuk melakukan praktek eksploitasi dan penyebaran doktrin salah satu agama.

Muncul Wacana diformalkan

Tahun 2004, mulailah beberapa rekan relawan dan mahasiswa mengorganisir para pengajar dan fasilitator anak-anak yang hidup di jalanan. Sumbangan dari para donaturpun mulai mengalir agak lancar. Kami dan beberapa kawan mulai menyingkir pelan-pelan, karena kami berfikir apa yang sudah dirintis cukup lama sudah ada yang melanjutkan.

Belakangan, bermunculan klub alias perkumpulan-perkumpulan di dalam terminal seperti Panter yang juga diinisiasi oleh kawan-kawan. Sebagai imbas dari dinamisnya kehidupan di terminal Depok. Dan ketika itu, wacana untuk melembagakan secara formal aktifitas komunitas pengajaran di Musholla itu kembali mengemuka.

Seiring dengan bertambahnya jamaah,  Musholla sebelah menara pengawas Terminal Depok akhirnya berubah nama jadi Masjid. Kang Rohim dan kawan-kawan yang ikut aktif terlibat menampung anak-anak di kiosnya di dalam terminal mendedikasikan diri untuk menjadi martir bagi kami.

Setelah diskusi panjang dan melelahkan, terbentuklah yayasan dengan nama YABIMM. Sebagian besar dari kami memilih untuk berada di luar garis demarkasi. Saat itulah perlahan tapi pasti, kami mulai meninggalkan secara resmi kehidupan jalanan. Baik di terminal maupun stasiun.

Kami mulai mengajak rekan-rekan untuk beralih profesi, dari pengamen menjadi seniman atau musisi dan mereka mulai belajar serius di Bengkel Teater milik almarhum WS. Rendra. Di terminal sendiri mulai berdatangan generasi ‘punk jalanan’ yang anti kemapanan. Anak-anak Master yang aslinya berasal dari lingkungan sekitar terminal, mulai campur baur dengan anak-anak jalanan pendatang baru dari luar Depok.

Berlindung dibalik Master

Mirisnya, saat ini belakangan mulai menjadi “trend”, tiap kali ada operasi PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial), anak jalanan dan pengamen, Mereka mengaku bernaung di MASTER. Padahal kebanyakan mereka berasal dari luar Depok.

Dulu harapan kami adalah MASTER mampu mereduksi masalah anak jalanan, sekarang malah menambah masalah di Kota Depok.

“Semoga pemindahan Terminal Terpadu dari Margonda ke Jatijajar nanti bukan memindahkan masalah sosial baru ke lokasi yang baru.”*

*Dikisahkan  seorang teman (yang enggan ditulis namanya) yang pernah malang-melintang di dunia jalanan. Dan didedikasikan untuk kawan-kawan seperjuangan yang lebih dulu kembali kepangkuan-NYA.

Baca juga

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel & foto di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi!!