Persoalan dalam Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) di Kota Depok kembali mencuat dan menimbulkan keprihatinan mendalam. Setiap tahun ajaran baru, wajah keresahan orang tua dan tangis kecewa anak-anak kembali menjadi potret yang akrab. Ironisnya, dari tahun ke tahun, solusi konkret dari pihak berwenang nyaris tak pernah hadir secara tuntas.
Keterbatasan Akses Pendidikan
Masalah paling krusial terletak pada keterbatasan akses pendidikan. Banyak anak usia sekolah tidak mendapatkan tempat belajar di satuan pendidikan negeri—bahkan swasta sekalipun. Dengan daya tampung sekolah yang terbatas dan sistem zonasi yang kaku, nasib siswa ditentukan bukan oleh potensi dan semangat belajarnya, melainkan oleh jarak rumah dan mekanisme yang tidak transparan.
Di tengah semangat pemerataan pendidikan, kenyataan di lapangan justru menunjukkan bahwa sistem saat ini belum mampu menjamin keadilan akses. Ketimpangan ini menimbulkan keresahan mendalam dan semakin memperlebar kesenjangan sosial.
Kelalaian Birokrasi
Lebih menyedihkan lagi, kondisi ini diperparah oleh kelalaian birokrasi. Pemerintah Kota Depok dinilai tidak tanggap terhadap persoalan yang sudah menjadi siklus tahunan. Kurangnya antisipasi, lemahnya koordinasi antarinstansi, dan tidak adanya sistem penanganan darurat menunjukkan rendahnya keseriusan pemerintah dalam menghadapi masalah pendidikan warga.
Seolah ada jarak antara mereka yang duduk di kursi pengambil kebijakan dan masyarakat yang menghadapi realitas di lapangan.
Pencitraan Mendahului Solusi
Alih-alih menyelesaikan masalah secara menyeluruh, pemerintah daerah justru terlihat lebih sibuk membangun pencitraan. Program-program diumumkan di media sosial, tetapi tidak menjangkau kebutuhan nyata warga. Hal ini memperkuat kesan bahwa pendidikan belum menjadi prioritas yang sesungguhnya, melainkan hanya etalase politik belaka.
Pendidikan adalah Hak, Bukan Komoditas
Perlu diingat kembali bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap anak Indonesia, bukan komoditas yang bisa diperebutkan dalam sistem yang tak adil. Negara—dalam hal ini pemerintah daerah—memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin hak tersebut. Ketika sistem gagal melayani, maka negara absen dalam perannya.
Tanggung Jawab Pemimpin
Dalam situasi seperti ini, pemimpin daerah dituntut untuk memiliki integritas dan empati. Pemimpin bukan hanya diukur dari janji politik, tetapi dari kemampuannya merespons jeritan warganya. Ini adalah ujian moral sekaligus momentum untuk menunjukkan keberpihakan yang nyata terhadap masa depan generasi muda.
Pendidikan bukan sekadar kewajiban administratif—ia adalah fondasi peradaban. Jika sistem SPMB gagal menjamin akses yang adil dan setara, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar angka statistik, tetapi masa depan bangsa ini.
“Kami berharap Pemerintah Kota Depok segera bertindak konkret dan membuka ruang dialog bersama warga untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.” **