Penulis : Rissa Churria
Swara Pendidikan (Bekasi)- Bekasi merupakan sebuah kota penyangga Jakarta, berkembang pesat sebagai pusat urbanisasi dan industrialisasi, memiliki sejarah dan budaya yang tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan Betawi. Meski terletak di perbatasan antara Jawa Barat dan DKI Jakarta, pengaruh kebudayaan Betawi sangat kental di Bekasi. Seiring dengan pesatnya perkembangan kota ini, pertanyaannya adalah, sejauh mana kebudayaan Betawi tetap terjaga dan hidup dalam keseharian masyarakat Bekasi?
Sejarah dan Asal Usul Kebudayaan Betawi di Bekasi
Bekasi pada masa kolonial Belanda adalah bagian dari wilayah yang dikenal sebagai Ommelanden, daerah pedesaan yang mengelilingi Batavia (sekarang Jakarta). Wilayah ini dihuni oleh berbagai kelompok etnis, termasuk suku Betawi. Kebudayaan Betawi di Bekasi berkembang dari percampuran berbagai budaya, termasuk budaya Sunda, Melayu, Arab, Tionghoa, dan Eropa, menciptakan identitas unik yang dikenal sebagai budaya Betawi pinggiran.
Keberadaan komunitas Betawi di Bekasi tidak terlepas dari peran mereka sebagai petani, pedagang, dan pengrajin yang berkontribusi pada ekonomi lokal. Hingga saat ini, banyak desa di Bekasi, seperti Pondok Gede, Jatiasih, dan Tambun, yang masih memelihara tradisi Betawi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Bahasa Betawi di Bekasi: Keberlangsungan dalam Kehidupan Sehari-hari
Bahasa Betawi di Bekasi, seperti di Jakarta, merupakan cerminan dari kehidupan sosial masyarakat yang terbuka terhadap berbagai pengaruh. Di Bekasi, bahasa Betawi masih banyak digunakan, terutama di daerah-daerah yang dihuni oleh komunitas Betawi asli. Bahasa ini sering digunakan dalam percakapan sehari-hari di rumah, pasar, dan lingkungan sekitar.
Namun, pengaruh bahasa Indonesia dan bahasa Sunda juga kuat di Bekasi, menciptakan dialek Betawi yang khas dan berbeda dengan yang digunakan di pusat Jakarta. Generasi muda di Bekasi cenderung lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan resmi dan pendidikan, namun bahasa Betawi masih menjadi identitas kultural yang penting, terutama dalam konteks budaya dan tradisi.
Tradisi dan Adat Istiadat Betawi di Bekasi
Tradisi dan adat istiadat Betawi masih dipegang teguh oleh banyak masyarakat di Bekasi. Upacara adat seperti palang pintu dalam pernikahan, sunatan massal, dan tahlilan masih dilaksanakan dengan khidmat. Tradisi palang pintu, misalnya, merupakan salah satu bentuk tradisi Betawi yang sering dijumpai dalam prosesi pernikahan di Bekasi. Prosesi ini melibatkan pertunjukan silat dan pantun sebagai bentuk simbolis dari penjagaan kehormatan keluarga.
Lebaran Betawi merupakan perayaan khas Betawi setelah Idul Fitri, masih diadakan di beberapa wilayah di Bekasi, meskipun dalam skala yang lebih kecil dibandingkan di Jakarta. Dalam perayaan ini, masyarakat Betawi berkumpul untuk merayakan keberhasilan menunaikan ibadah puasa dengan berbagai makanan khas Betawi, permainan tradisional, dan kesenian.
Seni Budaya Betawi di Bekasi: Pelestarian di Tengah Modernisasi
Seni budaya Betawi seperti lenong, gambang kromong, dan tari topeng Betawi masih mendapatkan tempat di hati masyarakat Bekasi. Lenong, sebagai teater rakyat yang mengandung unsur humor dan kritik sosial, sering dipentaskan dalam acara-acara pernikahan dan syukuran. Kelompok-kelompok seni Betawi di Bekasi juga aktif dalam melestarikan seni ini, meskipun dihadapkan pada tantangan modernisasi dan minat yang semakin menurun dari generasi muda.
Ondel-ondel, boneka raksasa yang menjadi ikon budaya Betawi, juga sering muncul dalam berbagai acara di Bekasi, baik dalam acara resmi maupun festival budaya. Ondel-ondel tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai simbol perlindungan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Kuliner Betawi di Bekasi: Rasa yang Tak Tergerus Zaman
Bekasi dikenal sebagai salah satu daerah yang masih mempertahankan kuliner khas Betawi. Makanan seperti kerak telor, nasi uduk, soto Betawi, dan sayur gabus pucung masih banyak ditemui di Bekasi. Warung-warung dan pedagang kaki lima yang menjual makanan khas Betawi ini menjadi bukti bahwa kuliner Betawi masih menjadi favorit masyarakat setempat.
Nasi uduk Betawi, misalnya, yang dikenal dengan rasa gurih santannya yang khas, masih menjadi pilihan sarapan banyak orang di Bekasi. Demikian pula dengan soto Betawi, yang terkenal dengan kuah santannya yang kaya rasa, sering dihidangkan dalam acara keluarga dan hajatan.
Upaya Pelestarian Kebudayaan Betawi di Bekasi
Melihat tantangan modernisasi yang semakin kuat, pelestarian kebudayaan Betawi di Bekasi menjadi tanggung jawab bersama. Pemerintah daerah, komunitas budaya, dan masyarakat Betawi terus berupaya menjaga kelestarian budaya ini melalui berbagai kegiatan dan acara.
Salah satu bentuk pelestarian yang dilakukan adalah melalui penyelenggaraan festival budaya Betawi di Bekasi, seperti Festival Condet dan Lebaran Betawi yang melibatkan partisipasi masyarakat luas. Selain itu, kampung-kampung Betawi di Bekasi juga menjadi pusat pelestarian budaya, di mana masyarakat masih menjalankan kehidupan sehari-hari dengan adat dan tradisi Betawi.
Pendidikan kebudayaan Betawi juga diperkenalkan di sekolah-sekolah di Bekasi melalui muatan lokal, agar generasi muda tetap mengenal dan mencintai budaya mereka. Selain itu, media sosial dan internet menjadi alat yang efektif dalam memperkenalkan dan melestarikan kebudayaan Betawi di kalangan anak muda.
Kebudayaan Betawi di Bekasi, Tetap Lestari di Tengah Perubahan
Meskipun Bekasi mengalami perkembangan pesat sebagai kota metropolitan, kebudayaan Betawi tetap bertahan dan hidup di tengah masyarakat. Bahasa, tradisi, seni, dan kuliner Betawi masih menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari, meski harus beradaptasi dengan dinamika zaman.
Keberadaan komunitas Betawi yang kuat, dukungan dari pemerintah daerah, serta kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga warisan budaya, menjadi faktor kunci dalam pelestarian kebudayaan Betawi di Bekasi. Dengan upaya pelestarian yang terus dilakukan, diharapkan kebudayaan Betawi di Bekasi akan tetap lestari dan menjadi identitas yang membanggakan bagi masyarakat setempat di masa depan.*
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.