Pendidikan dan politik sejatinya adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Dalam banyak hal, keduanya saling memengaruhi dan membentuk arah peradaban suatu bangsa. Pendidikan adalah hak konstitusional setiap warga negara yang dijamin oleh negara, dan pelaksanaannya pun diatur melalui kebijakan politik. Di sisi lain, politik bukan hanya sekadar upaya meraih kekuasaan atau kegiatan praktis semata, melainkan seni mengambil keputusan bersama untuk kepentingan publik. Maka, politik yang ideal semestinya digerakkan oleh orang-orang yang berpendidikan, dan pendidikan yang sehat mesti berpijak pada kebijakan politik yang beretika.
Namun kenyataannya, pendidikan formal yang menjadi tulang punggung pembangunan manusia justru masih menjadi korban dari kepentingan politik sesaat. Kurikulum kerap berubah mengikuti arah angin pemerintahan yang sedang berkuasa, bukan sebagai respons atas kebutuhan jangka panjang bangsa. Pendidikan yang tidak adil dan timpang, minimnya anggaran, hingga pembatasan ekspresi kritis di ruang-ruang kelas adalah beberapa dampak langsung dari kebijakan politik yang belum berpihak secara menyeluruh pada dunia pendidikan.
Refleksi Sejarah Pendidikan dan Politik di Indonesia
Jika kita menelusuri sejarah, relasi antara pendidikan dan politik di Indonesia bukanlah hal baru. Sejak zaman Hindu-Buddha, era penjajahan, hingga pemerintahan modern, pendidikan selalu mengalami intervensi politik. Beberapa catatan penting antara lain:
-
Ketidakadilan Akses Pendidikan
Perbedaan kasta, latar belakang sosial, dan ekonomi telah lama membentuk ketimpangan pendidikan. Meskipun narasi inklusi digaungkan, praktiknya masih jauh dari ideal. -
Kurikulum yang Tidak Konsisten
Sering kali kurikulum dirancang untuk menyesuaikan agenda politik penguasa, bukan sebagai pedoman jangka panjang yang adaptif terhadap tantangan zaman. -
Anggaran Pendidikan yang Minim
Walaupun konstitusi telah menetapkan minimal 20% dari anggaran untuk pendidikan, realitasnya banyak sekolah masih kekurangan sarana, dan guru menerima penghasilan yang tidak layak. -
Pembatasan Ekspresi Kritis
Guru dan siswa tak jarang dibungkam secara halus lewat kebijakan yang melarang pembahasan isu-isu aktual, padahal kemampuan berpikir kritis justru kunci dari pendidikan yang bermutu.
Dari situ dapat dipahami bahwa pendidikan tidak pernah netral dari kepentingan politik. Pendidikan adalah arena strategis dalam membentuk masa depan suatu bangsa, dan justru karena itu, sangat rawan menjadi objek politisasi.
Guru: Apolitis di Tengah Sistem yang Politis
Guru sebagai agen pendidikan memainkan peran kunci dalam sistem yang sarat kepentingan ini. Namun ironisnya, banyak guru yang memilih untuk menjauh dari ranah politik, seolah-olah bersikap netral adalah bentuk profesionalisme tertinggi. Padahal, bersikap apolitis di tengah sistem yang politis adalah tindakan politik itu sendiri—sebuah bentuk kepasifan yang justru merugikan masa depan siswa.
Sikap ini tidak muncul begitu saja. Budaya apolitis yang mengakar di kalangan guru bisa dilacak dari warisan politik Orde Baru yang represif. Netralitas yang dipaksakan melalui berbagai regulasi dan budaya institusional menjadikan isu politik sebagai topik tabu di ruang kelas. Konsep netralitas pun menjadi kabur, karena seringkali “netral” berarti tetap sejalan dengan arus dominan.
Padahal, di era digital ini, siswa—terutama generasi muda—sudah sangat akrab dengan konten politik yang mereka konsumsi setiap hari di media sosial. Maka guru seharusnya hadir sebagai pendamping yang membimbing mereka memahami, menilai, dan berpikir kritis terhadap apa yang mereka lihat dan dengar.
Berpolitik Bukan Berarti Praktik Politik Praktis
Perlu digarisbawahi bahwa menjadi guru yang tidak apolitis tidak berarti harus terjun ke dunia politik praktis. Berpolitik di sini adalah menjadi pendidik yang aktif membantu siswa memahami realitas sosial dan politik di sekitarnya. Mengajarkan literasi politik, membuka ruang diskusi objektif di kelas, serta memfasilitasi siswa membangun pandangan yang kritis adalah bentuk keberpihakan terhadap pendidikan yang bermakna.
Sebagaimana dilaporkan oleh The Hechinger Report, seorang guru yang membagikan pandangan politiknya secara terbuka, jujur, dan tidak memaksakan, bukan sedang mengindoktrinasi. Sebaliknya, mereka justru sedang mempraktikkan pendidikan sejati yang membebaskan dan mencerahkan.
Akhir Kata
Pendidikan yang berpihak kepada kemanusiaan menuntut keterlibatan politik yang sehat. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pembentuk karakter dan cara berpikir generasi masa depan. Ketika mereka memilih untuk diam, apolitis, atau hanya sekadar menjalankan kurikulum tanpa refleksi, maka yang hilang adalah semangat pendidikan itu sendiri—yakni membangun manusia seutuhnya.
Sudah saatnya para guru berdiri sebagai pendidik yang sadar bahwa tugas mereka adalah bagian dari proses politik yang besar: membangun bangsa yang berpikir, kritis, dan berintegritas. **
Zulfian Haris Yudha Pramuji: Pengajar Tahsin Gema Qurani