JANGAN MATI OBOR, BEGINI HALAL BI HALAL KAUM BETAWI

by Redaksi
0 Komentar 434 Pembaca

 

Oleh: Adhes Satria

DEPOK – Budaya Indonesia memang terbilang unik. Selain mudik, umat Islam Indonesia biasa menggelar acara Halal Bi Halal sehabis lebaran Idul Fitri. Kegiatan ini memang bukanlah merupakan acara keagamaan, melainkan tradisi dan budaya khas Muslim Indonesia.

 

Meski bukan kegiatan keagamaan, tapi agama sangat menganjurkan Silaturahim yang dimaknai dengan Halal Bi Halal. Tradisi ini bukan hanya  diadakan sebuah keluarga besar yang banyak anak dan keturunannya, tapi juga digelar di kantor-kantor dan perusahaan, tak terkecuali di berbagai komunitas dan perkumpulan.

 

Di era digital, memang membuat komunikasi menjadi mudah dan efektif. Setidaknya ada interaksi melalui Chat, Grup Whatsapp, Zoom ataupun Video Call, meski tak harus bertemu fisik. Tapi kebanyakan sih yang pasif, hanya mantau grup saja.

 

Harus diakui, komunikasi via media sosial memiliki kelebihan. Yang jauh menjadi terasa dekat. Yang lama menjadi terasa singkat. Namun, tetap saja tidak afdhol jika tak saling berjumpa. Dan tentu saja berbeda suasana dan kedekatannya, dibandingkan hanya lewat online.

 

Bagi masyarakat Muslim Betawi, misalnya, Halal Bi Halal adalah ajang ngumpul-ngumpul, nimbrung, guyub, saling melepas kangen, menyambung silaturahim yang hampir terputus dan kembali menyalakan obor yang nyaris padam, mati.

 

Beruntung bagi keluarga yang orang tuanya masih hidup, atau mulai uzur. Tapi bagi yang ortunya sudah masuk kubur, maka silaturahim ini menjadi penting untuk berkumpul bersama anak tertua, bontot, sanak-saudara dan  kerabat terdekat maupun terjauh. Diantara mereka ada yang memanggilnya encang-encing atau abang-mpok., besan atau mantu. Mereka bertemu agar saling mengenal.

 

Sejak orang tua dan sebagian anak-anaknya banyak yang meninggal dunia, hingga terpisah jauh, bisa karena tempat tinggalnya, tempat bekerjanya, ikut suami hijrah ke suatu negeri atau wilayah yang jauh, kemudian mereka saling bertanya-tanya tentang kabar, mulai dari anaknya siapa, bagaimana kondisi kesehatannya, menikah dengan siapa, punya anak berapa, bekerja dimana, lagi sibuk kegiatan apa dan sebagainya.

 

Di Keluarga Besar H. Asmawi bin H. Jasim, tokoh Betawi yang dikenal dengan Dukun Patah Tulang, umpamanya. Selain istrinya lebih dari satu, anak-anaknya juga banyak alias bererot. Belum lagi cucu-cunya dan generasi penerusnya. Saking banyaknya, susah untuk mengingat nama-nama sanak saudara dan kerabat yang lama tak berjumpa hingga bertahun tahun, sehingga sudah tidak saling mengenal.

 

Apalagi jika tinggalnya banyak yang terpencar-pencar, ada yang minggir ke Depok, Bekasi, Tangerang, Bogor dan wilayah Jawa Barat lainnya. Ada pula yang berdomisili di luar Jawa Barat hingga merantau keluar Pulau Jawa.  Bahkan mungkin di luar  negeri.

 

Saat Halal Bi Halal, tidak semua yang hadir, karena alasan tertentu. Bisa karena lost contact atau kehilangan kontak kemana harus menghubungi, atau memang sudah berganti generasi. Tak bisa hadir, juga bisa karena faktor sedang dinas,  ada pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan, atau karena tak adanya sarana transportasi lokasi yang jauh. Ada pula yang cuek saja.

 

Dulu ketika Halal Bi Halal yang dirangkai dengan arisan keluarga dan ceramah agama serta ramah tamah, dan makan-makan ini, anak-anaknya atau cucu-nya suka ditanya oleh encang encingnya, “Eh eluh anaknye siapa? Dari biangnya yang mane?“ Maksudnya dari istri babe yang ke berapa dan tinggal dimana.

 

Nah, saat Halal Bi Halal, yang muda biasa mencium tangan orang yang lebih tua. Dan saat berkunjung atau bertamu, biasanya suka bawa-bawaan rantang atau bingkisan seadanya, seperti kaleng biskuit, sirop, atau aneka makanan lainnya.

 

Tak mudah memang mengumpulkan sanak saudara dan kerabat dekat maupun jauh untuk bisa berkumpul. Kudu ada koordinatornya yang repot mendata nama-nama saudara yang harus diundang. Inilah pentingnya Halal Bi Halal, berkumpul bersama keluarga besar, agar tidak mati obor atau tidak terputus jalinan silaturahim.

 

Setidaknya, generasi penerusnya tahu asal-usulnya, bahwa mereka berasal dari keturunan orang baik dan keturunan dari orang sholeh. Dari bibit yang baik, akan menumbuhkan dan melahirkan keturunan yang baik pula. Itulah sebabnya, perlunya kita mencatat silsilah keluarga, agar mengetahu siapa nenek moyangnya, tidak melupakan generasi pendahulunya. Boleh jadi engkong atau nenek kita adalah seorang pejuang yang layak menyandang gelar Pahlawan.

 

Pada akhirnya Halal Bihalal harus dimaknai sebagai ajang silaturahim yg bisa mendatangkan rezeki, bertambah umur dan dijamin masuk Surga.

 

Halal Bihalal diadakan bukan untuk melihat siapa yang lebih sukses, tanpa melihat status sosial atau pun harta bendanya. Wallahu a’lam bishawab.


Penulis: Adhes Satria, Pegiat medsos

Baca juga

Tinggalkan Komentar