SAYA mendengar kalimat itu diucapkan berulang-ulang dalam dialog sebuah serial yang sedang tayang di NETFLIX, 3 Body Problem, yang diterjemahkan menjadi Trisurya dalam bahasa Indonesia. Ini cerita tentang sekelompok ilmuwan yang berusaha memecahkan misteri alam semesta.
Penasaran dengan kalimat itu, saya mengeceknya di google. Muncul nama Rachel Carson, 1962, bersama kutipan itu. Angka-angka itu pasti menunjuk tahun ketika Rachel Carson sampai pada simpul pikirannya itu.
Ingin tahu siapa dia, saya mencari infonya di wikipedia. Muncul profile singkat sang empunya nama. Rachel Carson (1907 – 1964) adalah biolog kelautan asal Amerika Serikat. Ia banyak menulis tentang advokasi terhadap lingkungan global. Bukunya jadi best seller di AS pada 1951, The Sea Around Us.
Pertama, saya salut kepada penulis skenario film itu. Ia adalah pembaca yang baik, yang, tampaknya, terbiasa membaca sebelum menulis. Ini bukan kali pertama saya menemukan simpul-simpul pikiran para pemikir dan ilmuwan dalam dialog-dialog di film yang pernah saya tonton atau bahkan dalam karya-karya literer, terutama novel-novel yang mendapat apresiasi dari para kritikus sastra. Contoh film lainnya adalah peraih Oscar 2024, Oppenheimer, yang banyak membincang teori fisika murni dan terapannya, juga dampak-dampaknya.
Kedua, saya disadarkan oleh kata-kata Carson itu. Sadar bahwa manusia, yaitu saya, termasuk makhluk paling egois di antara 5,3 juta – 1 triliun spesies yang hidup di bumi saja, belum termasuk di alam semesta. Hitungan itu memang tidak pasti dan jadi bahan perdebatan. Tapi, paling tidak, itu bisa dijadikan rujukan sementara untuk memahami kedudukan manusia sebagai spesies paling egois di antara spesies-spesies lain.
Alasannya, dalam pikiran saya, yang muncul pertama kali ketika mendengar kalimat klise seperti, “Demi menyelamatkan kehidupan,” adalah kehidupan manusia, bukan kehidupan makhluk atau spesies lain di bumi, apalagi di alam semesta. Manusia membuka ladang, membabat hutan, membangun food estate, menciptakan senjata nuklir, menerobos langit, menginjak bulan, merencanakan kehidupan di planet lain, galaksi lain, membangun ibukota negara, demi kehidupan manusia, warga negara, bangsa, atau semacamnya, yang sebenarnya berpusat pada diri manusia belaka.
Saya bertanya-tanya, dari mana pikiran manusia-sentris ini asal-usulnya? Saya yakin tidak muncul begitu saja pada era sekarang. Ada ilmu pengetahuan yang menyelidiki sejarah pemikiran manusia. Ada keterangan bahwa pikiran yang berpusat serba-manusia itu muncul pada zaman renaisans, sekitar abad ke-14-15, zaman ketika para pemikir di Benua Biru berhasil menyingkirkan Tuhan dan dewa-dewa dari kehidupan manusia. “Bukan Tuhan atau dewa-dewa yang menentukan nasib manusia, tapi manusia sendiri. Bahkan Tuhan, sesungguhnya, adalah hasil pikiran dan imajinasi manusia,” kata mereka.
Menyusul setelah era renaisans adalah era reformasi, yaitu era ketika terjadi sekularisasi urusan kehidupan di bumi, urusan Tuhan di Gereja, kehidupan di luarnya jadi urusan raja dan istana. Lalu menjamur pikiran-pikiran yang menjunjung tinggi kedudukan manusia. Bahwa manusia terpisah dari alam. Bahwa alam tercipta untuk manusia, untuk dikuasai oleh manusia, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi buah pikiran manusia. Secara gampangan mereka juga mengambil doktrin-doktrin agama untuk menegaskan kedudukan manusia di muka bumi, sebagai makhluk paling agung, paling sempurna.
Dari situ munculah kemudian teori-teori tentang kemajuan. Tentang hak-hak manusia, tentang hak asasi manusia. Setiap manusia punya hak hidup, hak mengemukakan pikiran. Bahwa peradaban manusia bergerak maju, bahwa di masa lalu segala sesuatu serba tertinggal. Seluruhnya terangkum dalam satu kata, yaitu: Modern.
Modernitas itu menghasilkan revolusi industri (Abad 17-18), melahirkan kolonialisme (Abad ke-18 – 20), menciptakan dua Perang Dunia. Pikiran manusia-sentris dan modernitas itu ternyata bukan hanya memusnahkan spesies-spesies lain di bumi, melainkan juga sesama manusia. Manusia jadi homo homini lupus, yang membentuk kelompok-kelompok yang saling mengasingkan diri, dipisahkan oleh identitas agama dan kebangsaaan. Asing menjadi kata yang juga diterapkan terhadap sesama manusia.
Ketiga, saya setuju dengan pikiran Rachel Carson, bahwa in nature nothing exists alone. Bahwa tidak ada alasan bagi manusia untuk egois ketika berhadapan dengan alam dan sesama makhluk hidup. Bahwa modernisme dan modernitas itu sudah usang. Bahwa hak hidup itu bukan hanya untuk spesies manusia. Bahwa manusia tidak boleh berhenti berpikir untuk menemukan jalan pikiran dan tindakan yang tidak akan menjerumuskan seluruh spesies dan alam semesta ke dalam kehancuran total.**
Alan ES’