Swara Pendidikan (Bojongsari, Depok) — Bagi sebagian guru, libur semester adalah waktu untuk beristirahat penuh. Namun tidak demikian bagi Amrulloh, guru kelas VI SD Negeri Duren Seribu 01. Saat bel sekolah berhenti berdentang pada libur semester ganjil 2025, Amrulloh justru kembali ke “kelas” lamanya: empang ikan di kawasan Duren Seribu.
Amrulloh tampak sibuk menaburkan pakan ke empang. Tangannya terampil, gerakannya tenang, seakan telah menyatu dengan aktivitas yang dia jalani sejak kecil. Budidaya ikan bukan sekadar usaha sampingan baginya, melainkan warisan kecintaan yang telah tumbuh sejak usia sekitar 10 tahun.
“Kalau lagi libur sekolah dan tidak mengajar, saya turun langsung ke empang untuk ngurus dan ngasih pakan ikan,” kata Amrulloh sambil memperhatikan ikan-ikan kecil yang bergerak lincah di permukaan air, saat ditemui Swara Pendidikan, Selasa (30/12/2025)
Kecintaan Amrulloh pada dunia perikanan berawal dari didikan orang tuanya. Sejak kecil, dia sudah terbiasa memelihara ikan hingga memahami teknik pembibitan, termasuk proses menyuntik indukan. Kini, di hari-hari aktif mengajar, urusan empang dibantu oleh asistennya. Namun saat libur sekolah, dia memilih turun langsung, memastikan setiap tahapan budidaya berjalan dengan baik.
Jenis ikan yang dibudidayakan adalah gurame soang, mulai dari telur hingga bibit siap jual. Amrulloh menjelaskan, gurame yang baru menetas diberi pakan cacing sutera, pakan alami yang sangat penting pada fase awal pertumbuhan.
“Cacing sutera ini pakan utama sejak menetas sampai ukuran sekitar 3 sentimeter. Usianya kira-kira satu bulan dan sudah bisa dijual,” ujarnya.
Bibit gurame berukuran 3 sentimeter tersebut dijual dengan harga sekitar Rp500 per ekor. Dari satu indukan, telur yang dihasilkan bisa mencapai 3.000 hingga 5.000 butir. Jika kondisi air stabil dan tidak terdampak banjir, tingkat kematian sangat kecil.
“Kecuali kalau Kali Angke di sekitar empang meluap dan banjir, itu pakan bisa jadi kendala dan berpengaruh ke pembibitan,” jelasnya.
Meski demikian, Amrulloh bersyukur. Dari enam empang peninggalan orang tuanya, masing-masing berukuran sekitar 4 x 10 meter di atas lahan kurang lebih 500 meter persegi. Dia masih bisa menjaga sumber penghidupan yang telah menghidupi keluarganya jauh sebelum mengenakan seragam guru.
Hasil penjualan bibit gurame menjadi tambahan penghasilan yang berarti bagi keluarga. Bahkan, panen tidak selalu menunggu sebulan sekali. Dengan jumlah bibit yang cukup banyak, panen bisa dilakukan beberapa kali dalam sebulan.
“Empang ini sumber penghasilan awal kami sebelum saya jadi guru. Jadi sampai sekarang tetap kami rawat dan pertahankan,” tutup Amrullah.
Di antara empang, ikan, dan papan tulis, Amrulloh membuktikan bahwa menjadi pendidik tak hanya soal mengajar di kelas, tetapi juga tentang ketekunan, kemandirian, dan menjaga warisan nilai kehidupan—baik kepada murid maupun keluarga. **




