Pernahkah kamu memberi pendapat atau justru menerima pendapat dari orang lain? Semua orang tentu memiliki pendapatnya masing-masing yang terkadang ingin dikeluarkan serta didengarkan. Namun, bagaimana jika sebaliknya? Bukankah tidak enak rasanya jika pendapatmu diabaikan oleh orang lain? Atau justru kamu yang mengabaikan pendapat lawan bicaramu? Ah, terdengar tidak baik.
Seperti kisah seorang gadis cantik yang terkenal berprestasi di sekolahnya, gadis itu bernama Elina Qirani yang saat ini menduduki tingkat 2 SMK.
Hari ini kelas 11 OTKP 1 kedapatan tugas kelompok untuk mata pelajaran PPKn. Kini semuanya sudah duduk bersama kelompoknya masing-masing yang telah dibagikan oleh guru mapel tersebut. Kelompok Elina berisikan 5 anggota termasuk dirinya. Elina pun terpilih menjadi ketua dalam kelompoknya dan sekarang mereka mulai mendiskusikan tugas yang diberikan. Sebagai ketua kelompok, tentu saja Elina lebih banyak memberikan pendapat.
“Lin, menurut aku poin kedua yang kamu bacain itu kurang tepat deh. HAM itu kan kebebasan dasar manusia yang di mana hal itu jadi satu kesatuan ya. Maksud aku, keduanya tuh jadi hakikat keberadaan manusia. Iya, ngga, sih?” Ucap Nisa menyerukan pendapatnya.
“Oh iya, bener juga sih! Kayak di Pasal 1 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia menyebutkan kalau setiap orang dilahirkan merdeka, punya harkat, martabat, hak yang sama, terus dikaruniai akal dan hati nurani. Setuju aku sama kamu Nis.” Reza menambahi.
“Nah, kenapa tadi menurut kamu di obrolan orang sehari-hari, HAM itu jadi terpisah dengan kebebasan dasar manusia?”
Kini kelimanya masih beradu argumen. Ketiga pihak dari mereka setuju pada pendapat Nisa. Namun, tidak dengan Elina yang masih tetap pada pendapatnya. Saat ini obrolan mereka pun didominasi oleh Elina yang menjadi emosional untuk mempertahankan pendapatnya itu.
“Ngga bersangkut paut lah, itu kan dua hal yang berbeda. HAM kan hukum, kalau kebebasan itu terserah kita. Ngapain harus ngikutin hukum.” Sahut Elina.
“Iya, memang dasarnya HAM diciptakan agar manusia berhak berekspresi, tapi kebebasan berekspresi itu kan juga harus mengikuti aturan hukum.” Balas Nisa.
“Sekarang gini, kalau ngikutin pendapat kamu, berarti orang-orang bebas dong ngelakuin suatu hal sebebas mungkin tanpa aturan?” Dini ikut berseru.
“Ya, ngga juga. Kalau kita ngerasa benar, ya ngapain harus ngikutin hukum. Lagian, ngapain ribetin hal kayak gitu, sih. Sekarang, kan, lagi zamannya hukum dibuat untuk dilanggar.” Sanggah Elina, masih merasa benar.
“Lho, masa iya kamu berpendirian teguh sama pilihanmu yang udah pasti salah? Kita itu hidup di negara hukum. Kalau benar di mata kamu, belum tentu benar di mata hukum. Aneh banget, ngga kebayang kalau semua orang pola pikirnya kayak kamu, bisa-bisa hancur negara ini.”
“Kenapa kamu jadi bawa-bawa pola pikir aku? Jelas-jelas, kamu yang salah!” Elina masih terus keras kepala dan tak ingin mengalah, “udah deh, Nis, mending kamu jangan bertingkah. Kamu itu cuma anggota kelompok aja! Pak guru juga milih aku yang jadi ketua karena dia lebih percaya sama aku daripada sama kamu.”
Perbedaan pendapat antara Elina dan Nisa menimbulkan pertikaian di antara mereka berdua. Keduanya masih tetap pada pilihannya masing-masing. Bahkan kini, Elina mulai menyinggung bahwa dirinya adalah ketua di kelompoknya, ia berpikir bahwa dirinya yang memiliki kuasa atas kelompoknya.
“Kalau kamu merasa kamu itu ketua, harusnya kamu bisa terbuka menerima pendapat anggota kelompok kamu. Kan, pada dasarnya dibuat kelompok itu biar dapat solusi dari banyak kepala. Jadi tugas kita bisa selesai dengan hasil yang terbaik.” Ujar Reza berusaha menyadarkan temannya.
Keadaan menjadi hening beberapa detik. Elina terdiam, tak merespon kalimat Reza. Ucapan Reza menyadari kesalahannya, seharusnya ia bersyukur mendapat teman kelompok yang mau memberikan pendapatnya, bukan hanya anggota yang diam saja asalkan masuk kelompok dan dapat nilai tanpa membantu menyelesaikan tugas yang ada. Sebagai ketua, justru ia harus bisa membimbing agar tugasnya dapat terselesaikan dengan baik, bukannya memperumit masalah dengan menolak semua argumen temannya dan keras kepala pada pendapatnya sendiri.
“Iya, aku salah. Bagaimanapun, aku harusnya tidak bertindak sendirian karena ini adalah tugas kelompok, aku dipilih menjadi ketua juga bukan berarti pemikiranku selalu benar. Maafin aku ya, teman-teman.”
——
Pintar saja tidak cukup. Kita harus berani terbuka untuk memberi pendapat dan mendengarkan pendapat orang lain. Karena hukum alamnya, kita membutuhkan bantuan dan pemikiran orang lain agar dapat menghasilkan suatu pekerjaan yang ringan, tepat, dan sempurna. Bersatu untuk semua, semua untuk satu, yakni satu tujuan.
***
Cerpen Karya
NAYSILLA KESYA AZZAHRA
Kelas: X Manajemen Perkantoran 1 (X MP 1)
SMK Arrahman Depok