
EDREA LAILANI
Duka menyertai evakuasi para korban hari itu, dibawah langit kelabu, derai hujan nampak membasahi bentala. Badai mengiringi langit kelabu pada petang itu. Tak ada senja dengan lembayung yang akan menghiasi permukaan laut dengan pantulan warna merah kekuningan yang indah, laut mengamuk menenggelamkan perahu nelayan serta desa-desa di pesisir
Lengkingan kepanikan warga desa terdengar kala sirene peringatan tsunami bersuara. Warga desa berlarian mengamankan diri ketempat tinggi.
Sosok gadis kecil nampak memegang lengan sang ibu erat erat, ia mengalihkan atensinya ke lautan, berharap seseorang ikut lari bersamanya.
————
Hingga kemarahan laut mereda, para warga tetap mengungsi untuk antisipasi jika ada tsunami susulan. Desir angin pesisir mengiringi kegundahan batin seorang gadis kecil. Ia tengah menanti kembali senyuman hangat sang ayah yang akan menyambutnya ketika beliau pulang dari mencari nafkah di lautan.
Ibunya selalu berkata jika ayahnya akan baik baik saja. Namun ia merasa jika kepergian sang ayah bukanlah suatu hal yang akan baik- baik saja. Sudah beberapa hari ia dan ibunya menunggu kabar dari tim SAR, tetap saja ia tidak mendapat kabar apapun.
Disini gadis kecil tersebut berada, dipinggir tebing dekat dengan posko pemgungsian, namun tak ada seorang pun pergi ketempat tersebut.
Derap langkah kaki terdengar menghapiri gadis kecil itu,
“Kamu Mira kan?” ucap ramah dari pemuda itu
Mira termenung, bagaimana orang lain yang ia tidak kenali tahu namanya? batinnya.
“Oh, iya perkenalkan nama Kakak Abimanyu, panggil saja Kak anyu. Aku tahu namamu dari ibumu,” jelasnya memeperkenalkan diri.
Mira terkekeh ketika mendengar nama panggilan pemuda itu, “Kak Anyu? mengapa tidak Kak Abi saja?” pikir Mira,.
Kak Anyu berkata sambil memanyunkan bibir,” kata orang, Anyu itu artinya ramah,” ia berkata seolah olah dapat membaca pikiran Mira.
“Aku belum pernah melihat Kakak di daerah sini,” ucap Mira.
“Iya, aku bukan asli daerah ini, aku datang bersama ayahku untuk menjadi relawan disini,” jawab Kak Anyu.
———
Dari kejauhan Mira mendengar teriakan dari para tim SAR untuk memberitahukan bahwa mereka berhasil menenukan jasad nelayan yang menjadi korban ganasnya amukan laut hari itu.
Netra Mira melebar, batinnya bertanya tanya, apakah jasad tersebut adalah milik sang ayah?
Tungkai mungilnya ia bawa lari menuju asal tempat teriakan para tim sar. Ia melihat tubuh tanpa nyawa tersebut dengan keadaan yang mengerikan, namun pemilik tubuh tersebut bukanlah sosok yang ia cari,
——
Rasa kecewa, sedih dan khawatir mengaduk aduk pikirannya, gadis kecil itu melangkah lesu kembali ketempat tinggalnya sementara.
Mira tersentak ketika netranya menangkap tubuh Kak Anyu berdiri tiba- tiba dihadapannya, Mira mengdongak menantap tubuh itu, ia melihat senyuman hangat bercampur khawatir yang ia cari bebebrapa hari ini.
Mira tersadar, jika senuman itu, senyuman hangat yang ia tunggu bukan berasal dari sang ayah. Alis matanya yang tebal, kerutan matanya ketika ia tersenyum mengingatkan Mira pada sang ayah.
“Aku terkejut ketika kamu berlari tiba-tiba, Mira,” ujar pemuda tersebut.
Dua pasang netra milik Mira melihat kearah para relawan serta donatur yang tengah membagikan bantuan pada para pengungsi.
Ia mendudukkan diri disamping Mira, “Kamu tahu, Mira. Karena terbatasnya informasdi dan akomodasi, kami semua para relawan seerta donatur hampir saja menyerah. Namun akhirnya kami menyadari bahwa kalian akan sangat membutuhkan disini.
Setelah banyak sekali rintangan mendatangi, akhirnya kami berhasil tiba didesamu,” jelas Kak Anyu seraya tersenyum.
“Kenapa Kaka mau menjadi seorang relawan? bukan itu merepotkan kan?” tanya Mira.
“Ayah bilang kepadaku bahwa manusia wajib menolong sesama, sesulit apapapun, kita harus menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Pasti Tuhan akan membalas kita di akherat nanti,” kak Anyu menjelaskan sembari menatap lembayung yang muncul di langit petang ini.
“Lagi pula, jikalau aku tidak dapat mendatangi tempatnya, aku bisa mengirimkan uang donasi lewat lembaga online,” sambungnya.
Mira kembali mengingat sang ayah. Ayah Kak Anyu adalah orang hebat, sama seperti ayahku!” ia menunduk, tersenyum sendu.
——
Kak Anyu yang sudah mendapat penjelasan dari ibu mira lantas memahami sitsuasi.
“Mira dengar Kakak, kehilangan adalah bagian dari kehidupan. Semua adalah takdir Tuhan, tiada siapapun yang dapat merubah takdir kita, para manusia hanya dapat berdoa kepada-Nya. Kakak juga pernah kehilangan anggota kelurga karena bencana alam, disanalah Kakak meilhat para relawan yang senantiasa membantu. Kakak juga ingin menjadi salah satu dari mereka.
Mereka bagikan harapan dalam kesedihan, karena pasti akan ada asa dalam gundah,” jelas Kak Anyu seraya memberikan senyuman hangat nan indah bagaikan lembayung yang kembali muncul petang itu.
“Anyu, mari tolong ayah sini!” ayahnya memanggil Kak Anyu untuk menolongnya membagikan bantuan pada para pengungsi.
Lantas Kak Anyu bangkit menghampiri ayahnya. Sebelum pergi, ia memberikan pesan pada Mira
“Jangan terlalu lama larut dalam kesedihan, Mira,” ia tersenyum persis seperti arti nama panggilannya.
Asa: harapan
Gundah:duka , sedih
Bsntara bumi
Atensi : perhatian
EDREA LAILANI, SMPN 7 (JUARA 2 CIPTA CERPEN, FLS SMP/MTs TINGKAT KOTA DEPOK)