HomeGURU MENULISArtikelSelamatkan Generasi dari Praktik “Scroll dan (mudah) Lupa", Bagaimana Literasi Menguatkan Kemampuan...

Selamatkan Generasi dari Praktik “Scroll dan (mudah) Lupa”, Bagaimana Literasi Menguatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif

Penulis : Muhammad Fajri (pendidik, penulis, peneliti, penggiat literasi)

Kecanduan media sosial telah menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Anak-anak sekolah dasar, generasi yang semestinya berada dalam fase pembentukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, kini dihadapkan pada tantangan besar. Studi dari Common Sense Media (2023) menunjukkan bahwa rata-rata anak menghabiskan lebih dari 4 jam sehari di depan layar, sebagian besar untuk mengakses media sosial. Paparan konten instan yang terus-menerus ini mengubah pola kerja otak, melemahkan kemampuan fokus, analisis, dan imajinasi.

Fenomena ini tak lepas dari pengaruh brain root, bagian otak yang berperan penting dalam pengambilan keputusan dan pengendalian diri. Penelitian Harvard Medical School mengungkapkan bahwa paparan berlebihan terhadap informasi cepat dari media sosial menurunkan aktivitas di bagian ini, membuat anak lebih impulsif dan kehilangan kemampuan berpikir mendalam.

Kondisi ini semakin diperparah oleh minimnya keterlibatan anak dengan aktivitas literasi yang membangun. Literasi adalah kunci untuk melawan krisis ini. Ketika anak diajak membaca buku atau menulis cerita, mereka dilatih untuk menyerap informasi dengan cara yang lebih mendalam. Tidak sekadar membaca, literasi juga melibatkan kemampuan mengevaluasi, menganalisis, dan menciptakan ide-ide baru. Literasi membuka ruang bagi anak untuk berpikir kritis, menggali makna dari informasi, dan menghubungkannya dengan fenomena di sekitar mereka.

Data UNICEF menyebutkan bahwa hanya 37% anak Indonesia yang memiliki akses rutin ke buku bacaan berkualitas di rumah. Kondisi ini menjadi alarm keras, mengingat literasi seharusnya menjadi pondasi utama dalam pendidikan anak. Ketika akses literasi lemah, media sosial menjadi pelarian, yang ironisnya justru menurunkan kemampuan anak untuk berpikir. Tidak hanya soal membaca, literasi yang terintegrasi dengan praktik nyata mendorong kreativitas anak.

Melalui proyek sederhana seperti membuat poster kampanye, menulis cerita pendek, atau melakukan presentasi tentang isu lingkungan, anak-anak dilatih untuk berpikir “di luar kotak.” Literasi memberi mereka kemampuan untuk tidak hanya memahami dunia, tetapi juga menciptakan perubahan di dalamnya. Langkah konkret diperlukan untuk menguatkan literasi sejak dini. Lingkungan sekolah harus menyediakan lebih banyak ruang untuk eksplorasi literasi, seperti perpustakaan yang menarik, klub menulis, atau kompetisi membaca. Di rumah, orang tua perlu menyediakan bacaan menarik, membangun kebiasaan membaca bersama, serta membatasi penggunaan gadget.

Gerakan literasi tidak bisa hanya menjadi jargon; ia harus diwujudkan dalam tindakan yang konsisten. Generasi instan merupakan sebuah ancaman masa depan. Bagaimana sebuah impian terciptanya generasi emas 2045 jika kondisi ancaman saat ini masih massif terjadi?. Jika tidak segera diantisipasi, anak-anak yang tumbuh dengan pola pikir serba instant dan ketergantungan pada media sosial akan kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan kreatif.

Literasi bukan sekadar solusi; ia adalah benteng yang menjaga mereka dari hilangnya potensi diri. Generasi yang literat adalah generasi yang mampu membaca peluang, menganalisis tantangan, dan menciptakan masa depan yang lebih baik.**

RELATED ARTICLES

Most Popular

PRESTASI SISWA/SEKOLAH

video youtube